Search This Blog

Sunday, May 23, 2021

Mandin Tangkaramin Kalimantan Selatan

Di sebuah desa yang bernama Malinau di Kalimantan Selatan, hiduplah dua orang pemuda bernama Bujang Alai dan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu selalu hidup bermusuhan karena sifat mereka yang sangat bertentangan. Bujang Alai merupakan putra seorang kaya dan berwajah tampan. Namun sayang kelebihannya itu membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang angkuh. Sementara Bujang Kuratauan memiliki wajah yang biasa biasa saja dan berasal dari keluarga sederhana.
Kemanapun ia pergi, Bujang Alai senantiasa menyelipkan keris di pinggangnya. Pemuda itu selalu berusaha menunjukkan kepada semua orang siapa dirinya. Tak jarang ia berlaku sewenang wenang terhadap orang lain, utamanya warga kampungnya yang miskin. Sampai saat ini tak ada seorangpun yang berani melawannya karena mereka takut kepada ayah Bujang Alai.


Berbeda dengan Bujang Alai, Bujang Kuratauan merupakan sosok pemuda yang sopan dan hormat terhadap siapa saja. Pemikirannya yang cermerlang membuatnya disegani warga walaupun usianya masih muda. Bujang Kuratauan juga selalu membawa senjata berupa parang bungkul jika bepergian. Hal itu ia lakukan semata mata untuk membela diri. Beberapa kali Bujang Alai mencari gara gara supaya berkelahi dengannya.

Pada suatu ketika, Desa Malinau gempar. Sebuah keluarga kehilangan anak gadisnya yang tiba tiba lenyap begitu saja. Warga desa telah membantunya mencari ke seluruh pelosok kampung, bahkan sampai ke hutan, namun tak ada jejak sang gadis sedikitpun. Orang tua sang gadis yang mulai putus asa tak berhenti menangis.
Ditengah kegemparan yang melanda kampung Malinau, tiba tiba Bujang Alai berkata dengan lantangnya.

“Di rumahku ada seorang gadis yang kusembunyikan. Siapa saja boleh menjemput gadis itu setelah berhasil menahan mata kerisku”, suaranya terdengar pongah. Semua warga tak menyangsikan bahwa ucapannya itu ditujukan kepada Bujang Kuratauan.

“Apa maksudmu siapa saja boleh menjemput gadis itu ?’, tanya Bujang Kuratauan yang panas hati mendengar ucapan Bujang Alai. “Lepaskan gadis itu dan kembalikan pada orang tuanya”, teriaknya dengan suara keras. 
 
Bujang Alai tersenyum senang. Ia merasa pancingannya kali ini berhasil.
“Sebentar lagi orang ini akan menyerangku”, pikirnya. “Aku punya kesempatan untuk menghabisinya”. Bayangan kemenangan membuat senyum Bujang Alai semakin lebar.
“Kalau kau ingin membawa gadis itu kepada orang tuanya, hadapi aku dulu”, tantang Bujang Alai.

Pemuda itu segera mencabut kerisnya dan mengambil posisi siap menyerang. Bujang Kuratauan tak mampu menahan emosinya lagi. Segera saja ia mengeluarkan parang bungkul yang selalu dibawanya. Perkelahianpun tak terelakkan lagi.
Bujang Alai dan Bujang Kuratauan bertempur dengan sengit. Mereka saling menyerang. Kedua pemuda itu sama sama tangguh. Mereka berhasil menangkis setiap serangan yang dilancarkan lawan. Karena hari sudah petang, Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan untuk melanjutkan pertarungan mereka esok pagi.
“Aku akan melayani dimana saja dan kapan saja kau hendak bertarung denganku”, jawab Bujang Kuratauan tegas. Ia sungguh tak dapat menerima tindakan Bujang Alai menyembunyikan anak gadis orang seenaknya
“Baik kalau begitu, esok pagi kutunggu kau di Mandin Tangkaramin”, ujarnya sambil berlalu.

Mandin Tangkaramin merupakan air terjun yang terletak tak jauh dari Desa Malinau. Air terjun itu tak terlalu tinggi dan dikelilingi hutan lebat. Dibawahnya terdapat banyak bongkahan batu besar dan kecil. Tak lama setelah fajar menyingsing, Bujang Alai dan Bujang Kuratauan telah tiba disitu.
Pertarungan segera dilanjutkan. Parang bungkul dan keris yang beradu menghasilkan bunyi berdentang dan percikan api. Bujang Alai dan Bujang Kuratauan mengeluarkan segenap keahlian yang mereka miliki. Setelah bertarung cukup lama, kedua pemuda terlihat mulai kelelahan.

Mungkin karena keinginannya untuk segera menghabisi lawannya, Bujang Alai mulai kehilangan kendali. Ia menyerang Bujang Kuratauan membabi buta. Kerisnya disabet tanpa henti sampai ia kehabisan tenaga. Satu saat pantulan sinar matahari dari kerisnya menyilaukan matanya. Bujang Alai sempat lengah. Pada saat itulah parang bungkul milik Bujang Kuratauan menghantam tubuhnya dengan keras. Tubuh Bujang Alai terhuyung dan tersungkur. Ia mati seketika.

Berita terbunuhnya Bujang Alai dalam pertarungan melawan Bujang Kuratauan segera menyebar di Desa Malinau dan sekitarnya. Keluarga Bujang Alai tak dapat menerima kematiannya. Ayahnya sangat terpukul mendapati putranya mati dengan tubuh lebam karena hantaman parang bungkul Bujang Kuratauan. Iapun berniat menuntut balas dengan berencana menyerang Bujang Kuratauan dan keluarganya.

Bujang Kuratauan bukan tak tahu keluarga Bujang Alai akan menuntut balas. Apalagi desas desus yang terdengar kalau rumahnya akan diserang semakin santer. Oleh karena itu Bujang Kuratauan dan ayahnya segera mengatur siasat.

Setelah beberapa hari menunggu, tibalah saat yang dinanti. Bujang Kuratauan dan keluarganya yang tak pernah tidur di rumah sejak kejadian itu segera menjalankan siasat mereka begitu mendengar suara ramai dari kejauhan. Seluruh anggota keluarga Bujang Kuratauan menyalakan obor dan berlari sambil memegangnya.
“Ayo cepat..”, teriak ayah Bujang Kuratauan yang memimpin di depan. Pengalamannya keluar masuk hutan membuatnya tahu persis arah yang dituju meski dalam kegelapan. Keluarga Bujang Alai terus berlari mengikuti obor yang dibawa keluarga Bujang Kuratauan. Rasa marah membuat mereka berlari kencang tanpa lelah.
“Sekaraaaangg…..”, teriak ayah Bujang Kuratauan. Seluruh anggota keluarga segera mengikutinya melempar obor yang mereka pegang. Keluarga Bujang Alai yang berlari mengejar obor tak melihat dimana mereka berada.
“Aaaaaaaaaa….…..”, terdengar teriakan keluarga Bujang Alai yang jatuh ke dasar sungai. Rupanya ayah Bujang Kuratauan dan keluarganya membuang obor mereka ke dasar sungai tempat jatuhnya air terjun Mandin Tangkaramin.
Tubuh seluruh anggota keluarga Bujang Alai dan para pengikutnya yang jatuh terhempas menghantam batu batu tajam di dasar sungai. Cucuran darah yang mengalir membuat batu batu disitu berwarna merah. Sampai kini masyarakat sekitar percaya bongkahan batu besar berwarna merah seperti kulit manggis yang masak merupakan batu yang terkena darah keluarga Bujang Alai. Mereka menyebutnya Manggu Masak.
Pesan moral dari cerita rakyat Kalimantan Selatan ini adalah jangan berlaku sombong dan sesuka hati. Orang yang jahat akan mendapat balasan dari kejahatannya.

No comments: