Search This Blog

Friday, June 25, 2021

Pulau Kapal Bangka Belitung

Pada Jaman dahulu, tinggalah sebuah keluarga yang sangat miskin di dekat Sungai Cecuruk yang terletak di Kepulauan Bangka Belitung.
Keluarga ini memiliki seorang anak yang sangat rajin. Mereka sekeluarga hidup dari hasil menjual buah-buahan dan daun-daunan yang mereka petik dari hutan ke pasar. Setiap hari, sang anak ikut ayah dan ibunya mencari hasil hutan.
Suatu hari, sang ayah pergi ke hutan untuk mencari bahan makanan. Ketika sedang menebang rebung, ia menemukan sebuah tongkat di antara rumpunan bambu. Ternyata, tongkat itu berhiaskan intan permata dan batu merah delima. Sang ayah bertanya-tanya dalam hati, siapa pemilik tongkat itu. Sang ayah segera membawa pulang tongkat itu dan menunjukkan kepada istri dan anaknya.
“Sebaiknya kita simpan saja benda ini, siapa tahu nanti ada yang mencarinya,” ujar sang ayah.
“Namun, kita tidak mempunyai lemari untuk menyimpan benda ini, Pak. Aku khawatir nanti malah dicuri orang,”” jawab sang ibu.
“Kita jual saja tongkat itu, sehingga kita tidak perlu repot menyimpannya,” usul si anak. Akhirnya, ayah dan ibunya setuju dengan usulan anaknya itu.
“Pergilah kau ke negeri seberang, Nak. Jual tongkat ini lalu kembalilah pulang,” kata sang ayah.

Anak itu pun berangkat ke negeri seberang. Tongkat berharga itu berhasil dijualnya dengan harga tinggi. Namun, sang anak tidak segera pulang ke kampungnya, ia memilih menetap di negeri itu dengan uang hasil penjualan tongkat berharga.

Kehidupan sang anak berubah sangat drastis. la menjadi kaya raya serta bergaul dengan kalangan dan saudagar-saudagar kaya. Bertahun-tahun ia tidak kembali ke kampungnya. Kemudian, sang anak menikah dengan putri salah satu saudagar terkaya di negeri itu.

Suatu hari, mertua anak itu memerintahkannya untuk pergi berdagang ke negeri lain bersama istrinya. Lalu, ia mempersiapkan perjalanan dengan membeli sebuah kapal yang besar dan mempersipkan anak buah kapal yang tangguh. la membawa banyak sekali hewan untuk bekal makanan selama berlayar, sehingga suasana kapalnya pun sangat ramai oleh suara binatang. Mereka pun berangkat berlayar.

Ketika sampai di sekitar Sungai Cecuruk, sang anak teringat akan kampung halamannya, kapal pun sandar di sungai tersebut.
Berita kedatangan sang anak pun didengar oleh orangtuanya. Ibunya segera menyiapkan makanan kesukaan anak itu dan pergi menemuinya dengan rindu yang terpendam selama bertahun tahun.

“Ini ibu dan ayahmu datang, Nak!” seru ibunya ketika sampai di kapal mewah sang anak.
Lelaki muda itu tertegun melihat siapa yang datang. la tidak mau mengakui ayah dan ibunya yang tua renta dan miskin. “Siapa kalian? Cepatlah pergi dari kapalku!” teriak sang anak. “Nak, ini ayah dan ibumu. Apakah kau tidak mengenali kami ? Ini ibu buatkan masakan kesukaanmu, Nak!” jawab sang ibu dengan sedih. “Pergi! Aku tidak suka makanan kampung! Orang tuaku adalah seorang saudagar kaya, bukan gembel seperti kalian!” seru sang anak sambil membuang makanan pemberian ibunya.
Hancurlah hati kedua orangtua sang anak. Dengan berucuran air mata, mereka meninggalkan kapal sang anak. Ibunya tak kuasa menahan sedih dan sekaligus amarahnya.

la pun berucap, “Jika saudagar kaya raya itu benar anakku, semoga karamlah kapal itu bersamanya.”
Setelah kata-kata itu terucap, tiba-tiba muncul badai dan gelombang laut sangat besar,dan tinggi menelan kapal mewah sang anak beserta istri dan awak kapal.

Kapal besar itu terombang-ambing dan terbalik, seluruh penumpang tewas seketika, termasuk sang anak. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, di tempat karamnya kapal sang anak, muncul sebuah pulau yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Menurut cerita, pada waktu-waktu tertentu di sekitar pulau itu sering terdengar suara-suara binatang yang diyakini sebagai binatang-binatang yang dibawa sang anak di kapalnya. Pulau itu kemudian diberi nama Pulau Kapal.
Pesan moral dari Tutur Cerita Rakyat  Pulau Kapal Bangka Belitung adalah jangan pernah durhaka kepada kedua orang tua. Kebahagiaan mu tergantung pada baktimu kepada Orang tua.

Wednesday, June 16, 2021

Minangkabau Sumatra Barat

Pada Jaman Dahulu di Sumatera Barat, Ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
"Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi," demikian semboyan para Pemimpin Kerajaan Pagaruyung.

Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.

"Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata. Bagaimana pendapat kalian?" tanya sang Raja yang memimpin sidang tersebut.
"Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah," usul panglima perang kerajaan.
"Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah," sanggah Penasehat Raja, "Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat."
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.

"Tenang, saudara-saudara!" ujar sang Raja, "Saya sepakat dengan pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan korban jiwa?"
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat bicara.

"Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita tantang mereka Adu Kerbau," ungkap Penasehat Raja.
"Hmmm... ide yang bagus," kata sang Raja, "Bagaimana pendapat kalian semua?"
"Setuju, Paduka Raja," jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada Putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.

Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
"Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman," sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. "Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh."

Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.

Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.

"Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!" bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
"Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian," jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk menunggu.
"Selamat datang, Tuan," sambut sang Raja, "Mari, silakan duduk!"
"Terima kasih, Paduka," ucap pemimpin itu.
"Ada apa gerangan Tuan kemari?" tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
"Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan," jawab pemimpin itu.
"Oh, begitu," jawab sang Raja sambil tersenyum, "Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita."
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
"Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka," jawab pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk Beradu Kerbau. Jika kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.

Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan masing-masing.

"Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!" teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
"Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!"
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira induknya.

Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira."Manang kabau..., Manang kabau...," demikian teriak mereka.

Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata "Manang Kabau" yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata "manang" berubah menjadi kata "Minang". Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.


Saturday, June 12, 2021

Nyi Roro Kidul Jawa Barat

 

Salah satu cerita rakyat Sunda menceritakan Dewi Kandita atau Kadita, putri cantik dari kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa Barat, yang melarikan diri ke lautan selatan setelah diguna-gunai. Guna-guna tersebut dikeluarkan oleh seorang dukun atas perintah saingannya di istana, dan membuat putri tersebut menderita penyakit kulit yang menjijikkan. Ia melompat ke lautan yang berombak ganas dan menjadi sembuh serta kembali cantik. Para lelembut kemudian mengangkatnya menjadi Ratu-Lelembut Lautan Selatan yang legendaris.
Versi yang serupa adalah Dewi Kandita, putri tunggal Raja Munding Wangi dari Kerajaan Pajajaran. Karena kecantikannya, ia dijuluki Dewi Srêngéngé (lit. "Dewi Matahari"). Meskipun mempunyai seorang putri yang cantik, Raja Munding Wangi bersedih karena ia tidak memiliki putra yang dapat menggantikannya sebagai raja. Raja kemudian menikah dengan Dewi Mutiara dan mendapatkan putra dari pernikahan tersebut. Dewi Mutiara ingin putranya dapat menjadi raja tanpa ada rintangan di kemudian hari, sehingga ia berusaha menyingkirkan Dewi Kandita. Dewi Mutiara menghadap Raja dan memintanya untuk menyuruh Kadita pergi dari istana. Raja berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara tersenyum dan berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya.
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang tukang tenung. Dia menyuruh sang dukun untuk meneluh Kadita. Pada malam harinya, tubuh Kadita gatal-gatal dipenuhi kudis, berbau busuk dan penuh bisul. Ia menangis tak tahu harus berbuat apa. Raja mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan Kandita serta sadar bahwa penyakit tersebut tidak wajar, pasti berasal dari guna-guna. Ratu Dewi Mutiara memaksa raja mengusir puterinya karena dianggap akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, ia terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya keluar dari negeri mereka.
Kandita pergi berkelana sendirian tanpa tujuan dan hampir tidak dapat menangis lagi. Ia tidak dendam kepada ibu tirinya, melainkan meminta agar Sanghyang Kersa mendampinginya dalam menanggung penderitaan. Hampir tujuh hari dan tujuh malam, akhirnya ia tiba di Samudera Selatan. Air samudra itu bersih dan jernih, tidak seperti samudera lain yang berwarna biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Ia melompat dan berenang, air Samudera Selatan melenyapkan bisulnya tanpa meninggalkan bekas, malah ia semakin cantik. Ia memiliki kuasa atas Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Roro Kidul yang hidup abadi. Kawasan Pantai Palabuhanratu secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.
1      2      3      4      5      6      7       8       9      10...

Cupu Kyai Panjolo Yogyakarta

Menurut sejarahnya, upacara adat Cupu Kyai Panjala ini sudah ada turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Eyang Seyek adalah nama asli Kyai Panjala. Eyang Seyek merupakan orang yang menemukan dan memiliki Cupu Kyai Panjala. Menurut cerita yang berkembang dimasyarakat, Cupu Kyai Panjala didapat Eyang Seyek saat njala (menjaring) di laut. Eyang Seyek tidak beristri dan tidak memiliki anak, akan tetapi Eyang Seyek memiliki 10 saudara kandung, 5 lelaki dan 5 wanita. Kakek buyut dari Dwijo Sumarto adalah saudara kandung Eyang Seyek, maka ia menjadi bagian dari ahli waris Cupu Kyai Panjala.

Sampai saat ini Cupu Kyai Panjala diyakini dan dimaknai sebagai simbol atau alat peramal untuk kondisi atau kejadian bangsa Indonesia dalam masa setahun ke depan. Semar Tinandu adalah gambaran keadaan penguasa dan pejabat tinggi, Palang Kinantang adalah gambaran untuk masyarakat menengah ke bawah, sedangkan Kenthiwiri adalah gambaran untuk rakyat kecil. Banyak warga lokal bahkan juga dari luar kota yang masih percaya akan hasil ramalan tersebut, maka digunakanlah acara ritual pembukaan cupu tersebut untuk meminta berkah.
Upacara Adat Cupu Kyai Panjala muncul sebagai aktivitas sosial masyarakat Jawa di Kabupaten Gunungkidul. Upacara ini merupakan upacara keagaaman secara global atau kepercayaan, artinya Upacara tersebut dilaksanakan dari berbagai unsur agama atau keyakinan. Aktivitas Upacara Pembukaan Cupu Panjala yang berfungsi sebagai penyelaras keharmonisan hubungan antara manusia. Upacara ini berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat untuk mempresentasikan emosi keagamaan. Kegiatan Upacara Pembukaan Cupu Panjala merupakan bentuk partisipasi seluruh anggota masyarakat di dalam menjaga hubungan-hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara Pembukaan Cupu Panjala biasanya menggunakan sarana dan prasarana berupa sesaji, merupakan bentuk persembahan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala manifestasinya-Nya. Disebut Upacara Pembukaan Cupu Panjala, karena Cupu yang terbungkus lembaran-lembaran kain tersebut dibuka pada waktunya yaitu dibuka setiap satu tahun sekali. Ketiga Cupu tersebut diletakkan dalam sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Cupu yang paling besar bernama Semar Tinandhu, Cupu yang berukuran sedang bernama Palang Kinantang dan yang paling kecil bernama Kenthiwiri. Dan dibungkus dengan lembaran-lembaran kain putih (kain Mori) yang berasal dari sejumlah peziarah yang mempunyai keinginan atau permohonan secara pribadi.
Tradisi Upacara Pembukaan Cupu Panjala adalah merupakan tradisi membaca tanda yang muncul pada lembaran-lembaran kain pembungkus Cupu Panjala yang dibuka oleh ahli waris dari keluarga trah Panjala, selanjutnya kondisi Cupu akan dilihat disaksikan oleh para pengunjung. Selama prosesi membuka kain pembungkus Cupu Panjala lembar demi lembar dilihat, dicermati baik kondisi kain atau ada tanda-tanda yang berupa bercak gambar atau adanya benda asing yang berada dalam lembaran-lembaran kain tersebut. Selanjutnya tanda- tanda yang ada di dalam setiap lembaran kain tersebut dibaca dan disampaikan oleh Juru Kunci Cupu Panjala. Tanda-tanda tersebut diyakini sebagai ramalan jaman atau tanda-tanda jaman dianggap muncul dari kekuatan gaib Cupu Panjala, yang merupakan pesan dari Sang Maha Pencipta melalui kekuatan gaib-Nya. Ramalan jaman yang muncul dari lembaran kain pembungkus Cupu Panjala merupakan sesuatu yang harus disampaikan oleh keluarga pewaris Cupu Panjala kepada masyarakat luas, ramalan jaman tersebut merupakan sebuah persepsi yang sangat ditunggu dan dinantikan oleh pengunjung.
Fungsi dari Upacara Pembukaan Cupu Panjala sebagai media untuk menghubungkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberikan berkah dan kesuburan, terkait dengan musim tanam tiba, upacara ini juga berfungsi sosial, yaitu sebagai kegiatan sosial kemasyarakatan untuk membina solidaritas antara masyarakat dalam berinteraksi. Selain itu, Upacara Pembukaan Cupu Panjala berfungsi sebagai tradisi yang telah mendarah daging dalam masyarakat Dusun Mendak-Girisekar, Kabupaten Gunungkidul dan diyakini sebagai ramalan jaman tersebut merupakan sebuah persepsi. memberikan petunjuk-petunjuk tentang kejadian yang akan terjadi, sehingga masyarakat dapat lebih waspada. Upacara Pembukaan Cupu Panjala dapat berfungsi sebagai 1). Sebagai sarana proyeksi masyarakat 2). Sebagai alat pendidikan. 3). Sebagai pengawas norma-norma. 4). Sebuah pengalaman agar lebih bertindak hati-hati.
Upacara adat Cupu Panjala mengajarkan nilai-nilai penting kepada diri sendiri dan masyarakat pemilik upacara ini. Nilai gotong royong diajakarkan sebagi pilar-pilar kehidupan bermasyarakat desa ini. Nilai-nilai edukasi berbasis ketuhanan diajarkan kepada masing-masing pribadi sebagai bagian pembelajaran dan pengingat diri sebagai makhluk sosio-religius.
Bertempat di Padukuhan Mendah, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang,Gunungkidul ,DIYogyakarta. Hari Senin Wage malam Selasa Kliwon Rejeb. Upacara membuka benda yang bernama Cupu Panjala yang di bungkus kain putih yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Pembukaan kain itu untuk mengetahui gejala-gejala yang erat kaitannya dengan masalah pertanian. Hasil tahun yang akan datang dan sambaran-sambaran secara nasional yang diyakini dan dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Pelaku upacara adalah keturunan Ki Panjala diikuti/disaksikan masyarakat sekitar.
Sumber :
kebudayaan.kemdikbud.

Friday, June 11, 2021

Nai Manggale (Si Gale-Gale), Sumatera Utara

Jika kita pergi ke pulau Samosir di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, maka kita akan mendapati Si Gale-Gale sebuah patung yang bisa bergerak.
Si Gale-Gale adalah sebuah patung kematian yang dibuat apabila ada seseorang yang meninggal tanpa memiliki keturunan. Dimaksudkan agar orang yang meninggal tidak berduka di alam baka, Menurut kepercayaan orang Batak zaman dahulu, orang yang meninggal tanpa memiliki keturunan, roh-nya akan memasuki patung Si Gale-Gale.
Patung tersebut kemudian akan dituntun oleh seorang dalang bersorban sementara para penonton akan menari mengelilingi patung sambil bersedekah pelipur lara kepada patung.
Patung yang bisa bergerak Si Gale-Gale konon berasal dari legenda Nai Manggale. Ia adalah seorang manusia jelmaan patung buatan Datu Panggana.
Turur Cerita Rakyat Nai Manggale

Alkisah dahulu kala di Sumatera Utara, hidup seorang pembuat patung bernama Datu Panggana.
Ia dikenal sebagai seorang pematung handal. Hasil patung buatannya sangat halus juga nampak sangat mirip aslinya. Seperti patung hewan, tumbuhan maupun patung berbentuk manusia, hasilnya pasti akan sangat mirip aslinya.
Nama Datu Panggana menjadi sangat terkenal sehingga banyak penduduk memesan patung kepadanya.Pada suatau hari Datu Panggana Membuat Patung Nai Manggale Menurut legenda,  Datu Panggana pergi ke hutan, mencari kayu untuk ia gunakan membuat patung. Setelah mendapat kayu sesuai keinginannya, Datu Panggana kemudian pulang ke rumahnya. Kemudian Ia mulai bekerja membuat patung berbentuk perempuan. Datu Panggana bekerja siang malam membuat patung tersebut tanpa melihat model. Dalam bekerja Ia hanya membayangkan sesosok perempuan cantik. Semua perhatiannya dicurahkan pada patung tersebut, hingga akhirnya selesai juga patung tersebut, sebuah patung berbentuk seorang perempuan sangat cantik wajahnya.

Datu Panggana pun sangat terkejut dengan kecantikan patung buatannya, Saat itu lewatlah seorang laki-laki di depan rumah Datu Panggana. Laki-laki tersebut bernama Bao Partigatiga.Ketika melihat patung perempuan cantik, Bao Partigatiga sangat terkejut melihat kecantikannya. Bao Partigatiga Memberikan Pakaian Nai Manggale. Ia pun memuji keahlian Datu Panggana. Kebetulan Bao Partigatiga membawa pakaian serta perhiasan perempuan. Ia kemudian memakaikan pakaian serta perhiasan yang ia bawa pada patung perempuan tersebut.Nampak semakin cantiklah juga semakin menyerupai manusia patung tersebut setelah didandani oleh Bao Partigatiga. Datu Panggana dan Bao Partigatiga memandangi patung tersebut dengan takjub.

Setelah puas mamandangi patung tersebut, Bao Partigatiga kemudian berusaha melepaskan pakaian dan perhiasan miliknya dari patung tersebut. Keanehan pun terjadi, Bao partigatiga tidak mampu melepaskannya.Seolah-olah patung tersebut menolaknya. Bao Partigatiga pun marah pada Datu Panggana.
Ia meminta Datu Panggana untuk menghancurkan patung tersebut agar Ia bisa melepaskan pakaian dan perhiasan miliknya.

“Hai Datu Panggana! Aku tak bisa mengambil perhiasan milikku. Cepat Kau hancurkan patungmu buatanmu! Aku mau pulang sekarang.” kata Bao Partigatiga marah. “Enak saja Kau suruh Aku hancurkan patung milikku. Salahmu sendiri! Siapa menyuruh Engkau kenakan pakaian dan perhiasan milikmu.” jawab Datu Panggana. Mereka berdua bertengkar hebat karena masalah tersebut. Untuk menghindari perkelahian, Bao Partigatiga akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut. Ia meninggalkan pakaian juga perhiasan miliknya menempel pada patung milik Datu Panggana.Sepeninggal Bao Partigatiga, Datu Panggana kemudian berusaha membawa patung perempuan cantik itu ke dalam rumahnya. Lagi-lagi keanehan terjadi, Datu Panggana tidak mampu memindahkan patung buatannya tersebut ke dalam rumah. Karena kesal, Ia akhirnya meninggalkan patung tersebut di luar rumah.

Pada suatu hari Seorang laki-laki bernama Datu Partoar lewat di depan patung perempuan cantik tersebut. Sama seperti Bao Partigatiga, Ia sangat takjub melihat kecantikannya. Ia kemudian berdoa kepada Dewata agar mengubah patung perempuan tersebut menjadi seorang manusia. Sang Dewata mengabulkan permohonan Datu Partoar, dalam sekejap patung perempuan cantik tersebut menjelma menjadi seorang wanita cantik jelita. Datu Partoar gembira. Ia kemudian mengajak gadis perempuan cantik jelmaan patung untuk ikut ke rumahnya. Gadis itu pun bersedia. Sesampainya di rumah, istri Datu Partoar sangat gembira menyambut kedatangan gadis cantik tersebut. Ia kemudian memberinya nama Nai Manggale.  

“Karena Engkau belum memiliki nama, Engkau kuberi nama Nai Manggale.”
Nai Manggale senang diterima hangat oleh keluarga Datu Partoar.
Ia kemudian menceritakan bahwa dirinya adalah seorang patung yang ditakdirkan oleh Dewata menjelma menjadi manusia karena doa Datu Partoar. Sejak saat itu Nai Manggale tinggal bersama keluarga Datu Partoar.
Nai Manggale telah dianggap sebagai anak oleh mereka.

Berita tentang sebuah patung menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama Nai Manggale akhirnya terdengar di telinga Datu Panggana. Ia pun bergegas menuju rumah Datu Partoar. Terperanjatlah Ia saat mengetahui sosok Nai Manggale ternyata adalah patung buatannya dulu. 
“Nai Manggale harus ikut denganku karena sebelum menjadi manusia ia adalah sebuah patung buatanku.” kata Datu Panggana kepada Datu Partoar.
“Tak bisa begitu! Memang benar Ia adalah patung buatanmu, tapi aku menemukannya tersia-sia diluar rumah. Aku juga yang berdoa pada Sang Dewata agar patung buatanmu menjadi manusia. Jadi sudah sepantasnya Nai Manggale tinggal bersamaku.” kata Datu Partoar.
Pertengkaran diantaranya keduanya semakin runcing dengan munculnya Bao Partigatiga.
“Pakaian dan perhiasan yang dikenakan Nai Manggale adalah kepunyaanku. Jadi Nai Manggale seharusnya tinggal bersamaku.” kata Bao Partigatiga. Perselisihan diantara ketiganya semakin lama semakin memanas.Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Ketiganya merasa berhak memiliki Nai Manggale dengan alasan masing-masing. Karena tidak ada jalan keluar, ketiganya lantas sepakat mengadukan masalah tersebut kepada Aji Bahir, sesepuh desa mereka.

Aji Bahir terkenal sebagai sosok cerdik bijaksana. Ia dikenal mampu memberikan jalan penyelesaian bagi orang-orang yang tengah bertikai. Saran dan pendapatnya dapat diterima orang-orang yang mengadu kepadanya. Setelah mendengarkan dengan seksama penjelasan dari ketiganya, Aji Bahir kemudian memberikan saran.
“Karena Datu Partoar memohon kepada Sang Dewa hingga akhirnya Nai Manggale menjelma menjadi seorang manusia, maka Datu Partoar layak menjadi ayah bagi Nai Manggale.” kata Aji Bahir.
“Datu Panggana adalah pembuat patung Nai Manggale sebelum menjadi manusia, maka Ia berhak menjadi paman Nai Manggale. Kata Aji Bahir kepada mereka bertiga.
“Sedangkan Bao Partigatiga, usianya masih muda. Ia pantas menjadi kakak Nai Manggale.” kata Aji Bahir lagi.
Ketiganya kemudian menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju. Ketiganya menjadi lega karena masalah mereka telah selesai. Mereka juga merasa bahagia karena bisa bersaudara dengan kehadiran Nai Manggale.
Kini Nai Manggale yang kecantikannya terkenal diantara suku-suku Tapanuli, hidup berbahagia bersama kedua orang tuanya, pamannya dan juga kakaknya.
Nai Manggale Menikah
Kecantikan Nai Manggale tersebar hingga ke desa tetangga. Seorang pemuda bernama Datu Partitik memberanikan diri mendatangi Datu Partoar untuk melamar Nai Manggale. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Nai Manggale karena Datu Partitik amat buruk rupa. Tidak putus asa, Datu Partitik lantas menggunakan ilmu sihir agar Nai Manggale menyukainya. Saat mencoba melamar untuk kedua kalinya, lamaran Datu Partitik diterima oleh Nai Manggale. Merekapun akhirnya menikah dengan upacara meriah. Tapi sayang kebahagian tersebut tidak berlangsung lama. Setelah menikah Nai Manggale merasa banyak musibah menimpanya. Ia juga tak kunjung dikaruniai seorang anak. Ia merasa mungkin Dewata tidak memberinya keturunan karena ia sendiri berasal dari sebuah patung.

Karena merasa sedih Nai Manggale terkena sakit keras berkepanjangan. Tidak ada satu tabib pun yang mampu mengobati penyakitnya. Merasa hidupnya tidak akan lama lagi, Nai Manggale lantas berpesan kepada suaminya agar membuatkan sebuah patung mirip dirinya agar menjadi kenangan bagi orang-orang yang selama ini mencintainya. Tidak lama kemudian Nai Manggale pun meninggal dunia. Sepeninggal istrinya, Datu Partitik kemudian meminta Datu Panggana untuk membuatkan patung sesuai permintaan mendiang istrinya. Patung tersebut diberi nama Si Gale-Gale. Semenjak saat itu patung Si Gale-Gale akan dibuat untuk mengenang orang yang meninggal dunia tanpa memiliki keturunan.

Tuesday, June 8, 2021

Putri Niweri Gading dari Aceh

Cerita Rakyat kali ini berkisah tentang Putri Niweri Gading. Al Kisah, Pada jaman dahulu di Negeri Alas termasuk wilayah Nangro Aceh Darussalam, ada seorang raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya. la memerintah dengan adil dan bijaksana, sehar-hari pikirannya dicurahkan untuk memajukan negeri dan kemakmuran rakyatnya.Namun sayang sang raja tidak mempunyai putera. Mereka sedih, atas nasihat orang pintar raja dan permaisuri kemudian tekun berdo’a sambil berpuasa.

Beberapa hari kemudian permaisuri mengandung. Setelah sampai waktunya permaisuri melahirkan anak laki-Iaki yang diberi nama Amat Mude. Belum genap setahun umurAmat Mude. ayahnya meninggal dunia. Karena Amat Mude. masih bayi maka adik sang raja atau paman (Pakcik) Amat Mude. diangkat menjadi raja sementara.

Pakcik itu bernama Raja Muda. Setelah diangkat menjadi raja ia malah bertindak kejam kepada Amat Mude. dan ibunya. Mereka diasingkan ke sebuah hutan terpencil. Raja Muda ingin menguasai sepenuhnya kerajaan yang sesungguhnya menjadi hak Amat Mude.
Walau dibuang jauh dari istana permaisuri tidak mengeluh, ia menerima cobaan berat dengan sabar dan tabah. lalu la mebesarkan Amat Mude. dengan penuh kasing sayang. Tahun demi tahun berlalu. tak terasa Amat Mude. tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan.
Amat Mude suka memancing ikan di sungai. Pada suatu hari, Permaisuri dan Amat Mude pergi ke sebuah desa di pinggir hutan untuk menjual ikan. Tanpa disangka, ia bertemu dengan saudagar kaya raya. Ternyata ia bekas sahabat suaminya dulu.
“Mengapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu keheranan.
Permaisuri menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya. Mendengar hal itu, sang saudagar segera mengajak mereka ke rumahnya dan membeli semua ikannya. Setibanya di rumah, saudagar ltu menyuruh istrinya segera memasak ikan tersebut. Ketika sedang memotong perut ikan, sang istri merasa heran karena dari perut ikan itu keluar telur ikan yang berupa emas murni. Kemudian, butiran emas tersebut dijual ke pasar oleh istri saudagar. Uangnya ia gunakan untuk membangun rumah permaisuri dan putranya. Sejak saat itu, permaisuri dan Amat Mude telah berubah menjadi orang kaya berkat telur-telur emas dari ikan.

Cerita tentang kekayaan permaisuri dan putranya sampai ke telinga Raja Muda.
Pada suatu hari, Raja Muda memanggil Amat Mude ke istana. la memerintahkan Amat Mude memetik kelapa gading untuk mengobati penyakit istri Raja Muda, di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Konon, lautan di sekitar pulau ltu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu pasti celaka.

Raja Muda mengancam Amat Mude jika tidak berhasil, ia akan dihukum mati. TapiAmat Mude tak peduli dengan ancaman itu. Niatnya tulus hendak menolong istri Raja Muda. Ia pun segera berangkat meninggalkan istana.
Setibanya di pantai, ia duduk termenung. Tiba-tiba, muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Si lenggang Raye, didampingl oleh Raja Buaya, dan seekor Naga besar.

Singkat cerita, Amat Mude telah menemukan pohon kelapa gading dengan bantuan Silenggang Raye, Raja Buaya, dan seekor naga Selanjutnya, Amat Mude memanjat pohon. Ketika sedang memetik buah kelapa gading, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.

“Siapa pun yang berhasil memetik buah kelapa gading, dia akan menjadi suamiku.” “Siapakah Engkau?” tanya Arnat Mude. “Aku Putri Niwer Gading,” jawabnya suara dari bawah pohon kelapa. Amat Mude cepat-cepat memetik kelapa gading. Setelah turun dari atas pohon kelapa. Alangkah takjubnya Amat Mude melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang putri pulang ke rumahnya untuk dipersunting. Setelah menikah, Amat Mude beserta istri dan ibunya berangkat ke istana untuk menyerahkan buah kelapa gading.
Kedatangan Amat Mude membuat Raja Muda terheran-heran. Orang yang berhasil melewati rintangan di pulau angker pastilah orang sakti. la tidak mau main-main Iagi. Kini tidak alasan untuk menghukum mati keponakannya itu. Akhirnya Raja Muda sadar akan kesalahanya. la memohon maaf kepada Permaisuri dan Amat Mude. Beberapa hari kemudian Amat Mude dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

Hikmah dari cerita tersebuat : Ketika datang musibah terjadi yang diperlukan kesabaran tidak mengeluh dengan bekerja keras & doa kita akan sampai pada perbaikan dalam kehidupan selanjutnya.

Friday, June 4, 2021

Batu Bagga - Sulawesi

Kabupaten Toli-toli, Sulawesi Tengah terkenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas ini terdapat sebuah batu yang melegenda di kalangan masyarakat setempat. Konon batu tersebut merupakan jelmaan sebuah perahu bagga (perahu layar), sehingga di sebut batu bagga.
Pada zaman dahulu kala di Sulawesi Tengah, hiduplah seorang pria bernama Intobu. Seorang Ayah yang tinggal berdua bersama anak satu-satunya yang bernama Impalak. Mereka hidup serba kekurangan. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah menjadi nelayan. Mereka pergi ke laut untuk menangkap ikan setiap malam hari, bahkan pada saat cuaca buruk tetap mencari Ikan.

Intobu selalu menasehati anaknya, “Menjadi nelayan adalah satu-satunya penghasilan kita. Jangan anggap cuaca buruk sebagai musuh kita.” Impalak mengangguk. “Ya, Ayah,” katanya.
Intobu dan Impalak bekerja sebagai nelayan selama bertahun-tahun. Namun berjalannya waktu Impalak mulai bosan dengan pekerjaan itu. Dia ingin mencoba sesuatu yang baru. Dia ingin membuat hidup lebih baik untuk ayahnya dan dirinya sendiri.

Suatu hari, Impalak mencoba berbicara dengan ayahnya tentang keinginannya.
“… Ayah, maafkan aku,” Impalak merasa ragu.
“Ada apa, Anakku?” Intobu penasaran melihat sikap anaknya yang aneh.
“Ayah, sebenarnya saya ingin berhenti bekerja sebagai nelayan. Saya ingin pergi ke luar negeri dan mencoba bekerja yang lain,” kata Impalak.
Intobu sedih mendengar keputusan putranya, tapi dia juga ingin Impalak sukses.
“Kalau itu keputusanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mempersilakanmu pergi. Aku hanya bisa mendoakan keselamatan dan kesuksesanmu” ucap Intobu.
“Tapi aku ingin kamu selalu mengingat tanah airmu. Ingat desa dan ayahmu, yang sudah tua ini.” lanjutnya.
“Ya, Ayah. Aku akan selalu ingat. Terima kasih,” kata Impalak bersemangat.
Keesokan harinya, Impalak berangkat ke pelabuhan. Dia melihat Bagga (perahu layar) dan pergi menemui pemiliknya.

“Maaf, Tuan. Saya ingin tahu apakah saya boleh berlayar dengan Anda?” Tanya Impalak.
Pemilik Bagga terdiam sesaat.
“Ini bukan masalah bagiku. Tapi mengapa kamu ingin berlayar denganku, dan apakah kamu sudah meminta izin dari orang tuamu?” Tanya pemilik Bagga kemudian.
“Saya bekerja di sini sebagai nelayan dengan ayah saya, tetapi saya ingin mencoba peruntungan di luar negeri. Ayah saya setuju dengan rencana saya,” kata Impalak.
“Baiklah, aku akan berlayar besok. Temui aku di sini besok pagi. Ngomong-ngomong, siapa namamu?” Tanya pemilik bagga ini.
“Terima kasih Pak. Nama saya Impalak, Pak,” jawab Impalak senang.
Kembali ke rumahnya, Impalak memberi tahu ayahnya tentang pertemuannya dengan pemilik perahu Bagga.

“Kapan kau meninggalkan rumah nak ?” Intobu bertanya.
“Besok, Ayah,” jawab Impalak.
Selanjutnya pagi harinya, impalak pergi ke pelabuhan bersama ayahnya. Perahu Bagga sedang bersiap berlayar.

“Cepat, Impalak!” Pemilik Bagga berteriak.
Impalak mencium tangan ayahnya“
“Ayah saya pamit, mohon jaga diri ayah baik-baik,” kata Impalak.
“Pergilah, Nak. Aku memberkatimu,” kata Intobu.
Ada air mata berlinang di mata Intobu saat melihat Bagga meninggalkan pelabuhan.

Beberapa tahun berlalu. Setiap kali Intobu melihat perahu Bagga, dia selalu berharap anaknya akan kembali. Tetapi tidak ada kabar sama sekali dari Impalak.
Suatu hari, Intobu pergi memancing seperti biasa.
Dia menggunakan perahu kecil dan menuju ke perairan terbuka dekat pelabuhan. Pada saat itulah dia melihat Bagga menuju pelabuhan.
Ketika Bagga sudah mendekati sampan Intobu, dia melihat seorang pemuda tampan berdiri di dek depan Bagga ini. Pemuda itu ditemani oleh istrinya yang cantik. Intobu mengenali pemuda. Dia adalah Impalak putra kesayangannya.
“Impalak, Nak.” Teriak Intobu.
“Impalak! Impalak, anakku!” Intobu berteriak dengan semangat.
Impalak mendengar teriakan ayahnya, tapi dia mengabaikannya.
“Sayangnya, ada seseorang di sana yang memanggil namamu. Apa itu ayahmu?” Tanya istrinya.
“Bukan, dia bukan ayahku. Abaikan dia sayang” Impalak malu mengakui ayah tuanya di depan istrinya yang cantik.
Intobu mencoba mendayung perahunya lebih mendekat ke Bagga, tetapi tiba-tiba ada ombak besar di lautan.
Perahu Intobu dihantam ombak dan hampir tenggelam.
“Tolong … Bantu aku … Impalak, tolong …!” Intobu berteriak, meminta bantuan anaknya.
Tapi Impalak mengabaikan ayahnya. Dia bahkan mengubah Bagga menjadi berlawanan dengan arah perahu sampan Intobu.

Intobu sangat bersedih melihat Anak yang dia sayangi mengabaikannya seperti itu.
Kekecewaan bercampur dengan kesedihan dan kemarahan.
Dia melihat ke langit dan berdoa, “Oh, Tuhan, tolong dengarkan doaku. Jika memang dia benar Impalak anakku. Aku mengutuk Bagga anak pemberontak itu menjadi batu.”
Tidak lama setelah doa yang dipanjatkan oleh Intobu, badai datang dan melanda Impalak Bagga ini.
Angin bertiup sangat kencang, mendorong Bagga ke pantai.
Tiba-tiba, Bagga dan Impalak berubah menjadi batu. batu masih ada sampai sekarang. Orang menyebut Batu Bagga.

Pesan moral dari Legenda Batu Bagga (Cerita Rakyat Sulawesi Tengah) ini adalah hormati dan sayangi kedua orang tuamu. Kesuksesan dan kebahagiaanmu dimasa yang akan datang tergantung dari doa yang mereka panjatkan.