Search This Blog

Wednesday, May 26, 2021

Ki Ageng Sela

Rikala zaman semono ing desa Sela, Ki Ageng Sela sing kondhang karo ajine yaiku bisa nakluke gludug. Ki Ageng Sela turunaning Majapahit sahingga dheweke isih termasuk anak-putu Brawijaya. Nadyan mangkono, dheweke ora gelem gantung uripe marang kaluwargane.

Ki Ageng Sela berasal dari Purwodadi tepatnya di daerah Tawangharo. Dia merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit sehingga dia dapat dikatakan sebagai anak-putu Brawijaya. Walaupun dia merupakan keturunan kerajaan Majapahit, namun dia tidak mau bergantung. Dia ingin mencari jati dirinya sendiri.

Ki Ageng Sela nduweni jeneng luwih saka siji ing uripe. Sing kepisan nalika dheweke isih enom,jeneng Ki Ageng Sela yaiku Bagus Songgom. Banjur, dheweke nduweni jeneng Si Abdul Rahman. Dheweke dijenengi Si Abdul Rahman amarga dheweke dianggep sesepuh karo masyarakat. Jeneng Ki Ageng Sela dhewe diwenehi ning dheweke amarga dheweke nduweni akal sing apik utawa susila/Sela.

Ki Ageng Sela memiliki nama lebih dari satu selama hidupnya. Yang pertama ketika dia muda, Ki Ageng Sela bernama Bagus Songgom, yang kedua bernama Ri karena dia merupakan anak-putu trah majapahit, yang ketiga bernama Si Abdul Rahman karena dia dianggap sebagai sesepuh oleh masyarakat. Nama Ki Ageng Sela sendiri atau Ki Gede Sela diberikan kepadanya karena semasa hidupnya dia memiliki akal budi yang baik atau susila/Sela.

Kawit cilik, Ki Ageng Sela wis dadi wong tani sing ulet. Kebukti nalika dheweke ngolah sawah, dheweke bisa nandur cepet. 
Ki Ageng Sela merupakan seorang petani yang ulet, itu sudah terlihat ketika dia masih remaja. Terbukti, ketika dia bertani dia dapat mengolah tanahpun sangat cepat.

Selawase urip, Ki Ageng Sela cedhak banget marang Gusti Allah. Kebukti, nalika dheweke lagi nandur dheweke diganggu karo gludug. Ki Ageng Sela anyel amarga ngrasa keganggu karo gludug iku. Banjur, dheweke nantang gludug iku kanggo gelut. Dheweke njaluk gludug iku nduduhi wujud asline. Banjur, ana mbah-mbah kakung sing ngadheg ana ngarepe Ki Ageng Sela. Rupane, mbah kakung iku wujud saka gludug mau. Banjur, Ki Ageng Sela gelut karo mbah kakung iku. Akhire, Ki Ageng Sela bisa angalahke Mbah Kakung iku. Sakwise bisa ngalahke gludug iku, Ki Ageng Sela naleni gludug iku nganggo godhong jarak. Sakwise ditaleni, Ki Ageng Sela gawa gludug iku menyang omahe nganggo wit gandri.Nalika tekan omah, Ki Ageng Sela ndheleh gludug iku ing mburi omahe (sing saiki dadi makam Ki Ageng Sela).
Kabar Ki Ageng Sela sing bisa naleni lan gawa bali gludug iku krungu tekan Sunan Kalijaga. Banjur, Sunan Kalijaga ngangkon Ki Ageng Sela gawa gludug iku ning Demak. Dheweke ngangkon Ki Ageng Sela gawa gludug supaya Demak bisa keadoh saka mala.

Nalika krungu panjaluke Sunan Kalijaga, Ki Ageng Sela nrima panjaluke Sunan Kalijaga. Banjur, dheweke gawa dhewe percikane gludug iku sing sakdurunge wis ditaleni saka omah.

Nalika tekan alun-alunDemak. Rupane, tekane Ki Ageng Sela barengan karo wafate Patiunus (1521 SM). Banjur, Ki Ageng Sela menehi kurmat marang para Wali sing nalika iku ana ing alun-alun Demak. Sakwise mangkono, dheweke melu neruske pemakamane Patiunus (sing saiki dadi Ombor-ombor).

Nalika Ki Ageng Sela tekan Demak, Ki Ageng Sela nggambar naga ing ngarep masjid Demak tepate ana ing gerbang utama. Nalika dheweke durung bubaran nggambar, rupane ana mbah wadon sing gebyur gambar iku. Banjur, krungu swara gludug banter. Sahingga, gambar sing digambar Ki Ageng Sela iku ora rampung amarga mahluk-mahluk iku lunga dhewe.

Percikane gludug sing digawa Ki Ageng Sela iku digunakake nalika Grebeg Maulud. Tungku sing digunakake iku tungkune Joko Tarub. Banyu sing dienggo banyu saka sendhang lan sing masak iku Nawang Wulan. Saiki, Percikane gludug mau isih digunakake nalika ana event-event Mataram. Misale, Grebeg Maulud, Grebeg Sura,lsp.

Sunday, May 23, 2021

Mandin Tangkaramin Kalimantan Selatan

Di sebuah desa yang bernama Malinau di Kalimantan Selatan, hiduplah dua orang pemuda bernama Bujang Alai dan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu selalu hidup bermusuhan karena sifat mereka yang sangat bertentangan. Bujang Alai merupakan putra seorang kaya dan berwajah tampan. Namun sayang kelebihannya itu membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang angkuh. Sementara Bujang Kuratauan memiliki wajah yang biasa biasa saja dan berasal dari keluarga sederhana.
Kemanapun ia pergi, Bujang Alai senantiasa menyelipkan keris di pinggangnya. Pemuda itu selalu berusaha menunjukkan kepada semua orang siapa dirinya. Tak jarang ia berlaku sewenang wenang terhadap orang lain, utamanya warga kampungnya yang miskin. Sampai saat ini tak ada seorangpun yang berani melawannya karena mereka takut kepada ayah Bujang Alai.


Berbeda dengan Bujang Alai, Bujang Kuratauan merupakan sosok pemuda yang sopan dan hormat terhadap siapa saja. Pemikirannya yang cermerlang membuatnya disegani warga walaupun usianya masih muda. Bujang Kuratauan juga selalu membawa senjata berupa parang bungkul jika bepergian. Hal itu ia lakukan semata mata untuk membela diri. Beberapa kali Bujang Alai mencari gara gara supaya berkelahi dengannya.

Pada suatu ketika, Desa Malinau gempar. Sebuah keluarga kehilangan anak gadisnya yang tiba tiba lenyap begitu saja. Warga desa telah membantunya mencari ke seluruh pelosok kampung, bahkan sampai ke hutan, namun tak ada jejak sang gadis sedikitpun. Orang tua sang gadis yang mulai putus asa tak berhenti menangis.
Ditengah kegemparan yang melanda kampung Malinau, tiba tiba Bujang Alai berkata dengan lantangnya.

“Di rumahku ada seorang gadis yang kusembunyikan. Siapa saja boleh menjemput gadis itu setelah berhasil menahan mata kerisku”, suaranya terdengar pongah. Semua warga tak menyangsikan bahwa ucapannya itu ditujukan kepada Bujang Kuratauan.

“Apa maksudmu siapa saja boleh menjemput gadis itu ?’, tanya Bujang Kuratauan yang panas hati mendengar ucapan Bujang Alai. “Lepaskan gadis itu dan kembalikan pada orang tuanya”, teriaknya dengan suara keras. 
 
Bujang Alai tersenyum senang. Ia merasa pancingannya kali ini berhasil.
“Sebentar lagi orang ini akan menyerangku”, pikirnya. “Aku punya kesempatan untuk menghabisinya”. Bayangan kemenangan membuat senyum Bujang Alai semakin lebar.
“Kalau kau ingin membawa gadis itu kepada orang tuanya, hadapi aku dulu”, tantang Bujang Alai.

Pemuda itu segera mencabut kerisnya dan mengambil posisi siap menyerang. Bujang Kuratauan tak mampu menahan emosinya lagi. Segera saja ia mengeluarkan parang bungkul yang selalu dibawanya. Perkelahianpun tak terelakkan lagi.
Bujang Alai dan Bujang Kuratauan bertempur dengan sengit. Mereka saling menyerang. Kedua pemuda itu sama sama tangguh. Mereka berhasil menangkis setiap serangan yang dilancarkan lawan. Karena hari sudah petang, Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan untuk melanjutkan pertarungan mereka esok pagi.
“Aku akan melayani dimana saja dan kapan saja kau hendak bertarung denganku”, jawab Bujang Kuratauan tegas. Ia sungguh tak dapat menerima tindakan Bujang Alai menyembunyikan anak gadis orang seenaknya
“Baik kalau begitu, esok pagi kutunggu kau di Mandin Tangkaramin”, ujarnya sambil berlalu.

Mandin Tangkaramin merupakan air terjun yang terletak tak jauh dari Desa Malinau. Air terjun itu tak terlalu tinggi dan dikelilingi hutan lebat. Dibawahnya terdapat banyak bongkahan batu besar dan kecil. Tak lama setelah fajar menyingsing, Bujang Alai dan Bujang Kuratauan telah tiba disitu.
Pertarungan segera dilanjutkan. Parang bungkul dan keris yang beradu menghasilkan bunyi berdentang dan percikan api. Bujang Alai dan Bujang Kuratauan mengeluarkan segenap keahlian yang mereka miliki. Setelah bertarung cukup lama, kedua pemuda terlihat mulai kelelahan.

Mungkin karena keinginannya untuk segera menghabisi lawannya, Bujang Alai mulai kehilangan kendali. Ia menyerang Bujang Kuratauan membabi buta. Kerisnya disabet tanpa henti sampai ia kehabisan tenaga. Satu saat pantulan sinar matahari dari kerisnya menyilaukan matanya. Bujang Alai sempat lengah. Pada saat itulah parang bungkul milik Bujang Kuratauan menghantam tubuhnya dengan keras. Tubuh Bujang Alai terhuyung dan tersungkur. Ia mati seketika.

Berita terbunuhnya Bujang Alai dalam pertarungan melawan Bujang Kuratauan segera menyebar di Desa Malinau dan sekitarnya. Keluarga Bujang Alai tak dapat menerima kematiannya. Ayahnya sangat terpukul mendapati putranya mati dengan tubuh lebam karena hantaman parang bungkul Bujang Kuratauan. Iapun berniat menuntut balas dengan berencana menyerang Bujang Kuratauan dan keluarganya.

Bujang Kuratauan bukan tak tahu keluarga Bujang Alai akan menuntut balas. Apalagi desas desus yang terdengar kalau rumahnya akan diserang semakin santer. Oleh karena itu Bujang Kuratauan dan ayahnya segera mengatur siasat.

Setelah beberapa hari menunggu, tibalah saat yang dinanti. Bujang Kuratauan dan keluarganya yang tak pernah tidur di rumah sejak kejadian itu segera menjalankan siasat mereka begitu mendengar suara ramai dari kejauhan. Seluruh anggota keluarga Bujang Kuratauan menyalakan obor dan berlari sambil memegangnya.
“Ayo cepat..”, teriak ayah Bujang Kuratauan yang memimpin di depan. Pengalamannya keluar masuk hutan membuatnya tahu persis arah yang dituju meski dalam kegelapan. Keluarga Bujang Alai terus berlari mengikuti obor yang dibawa keluarga Bujang Kuratauan. Rasa marah membuat mereka berlari kencang tanpa lelah.
“Sekaraaaangg…..”, teriak ayah Bujang Kuratauan. Seluruh anggota keluarga segera mengikutinya melempar obor yang mereka pegang. Keluarga Bujang Alai yang berlari mengejar obor tak melihat dimana mereka berada.
“Aaaaaaaaaa….…..”, terdengar teriakan keluarga Bujang Alai yang jatuh ke dasar sungai. Rupanya ayah Bujang Kuratauan dan keluarganya membuang obor mereka ke dasar sungai tempat jatuhnya air terjun Mandin Tangkaramin.
Tubuh seluruh anggota keluarga Bujang Alai dan para pengikutnya yang jatuh terhempas menghantam batu batu tajam di dasar sungai. Cucuran darah yang mengalir membuat batu batu disitu berwarna merah. Sampai kini masyarakat sekitar percaya bongkahan batu besar berwarna merah seperti kulit manggis yang masak merupakan batu yang terkena darah keluarga Bujang Alai. Mereka menyebutnya Manggu Masak.
Pesan moral dari cerita rakyat Kalimantan Selatan ini adalah jangan berlaku sombong dan sesuka hati. Orang yang jahat akan mendapat balasan dari kejahatannya.

Friday, May 21, 2021

Danau Kembar Sumatera Barat

Danau Kembar ini berada di Kawasan Danau Kembar yang letaknya ada di Kecamatan Lembang Jaya dan Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Jaraknya sekitar 60 kilometer dari pusat kota Padang atau sekitar 50 kilometer dari pusat kota Solok.

Ada sebuah cerita yang turun temurun di sampaikan mengenai Legenda terbentuknya Danau Kembar ini, berikut dibawah ini ceritanya

Di zaman dahulu kala ada seorang niniak (Orang yang Sudah Tua) yang bernama Niniak Gadang Bahan yang kerjanya adalah Maarik kayu (membuat papan/tonggak). Niniak ini sangat unik, badannya besar tinggi dan bahannya sebesar Nyiru. Bahan yang dimaksud di sini adalah beliungnya/kampak (alat untuk menebang kayu dan membuat papan). Nyiru adalah tempat menempis beras yang lebarnya kira-kira 50cmx80cm. Setiap berangkat ke hutan niniak ini tidak lupa membawa beliungnya.

Niniak ini makannya hanya sekali seminggu, tapi sekali makan 1 gantang. Untuk mendapatkan kayu/papan yang bagus dia harus naik gunung/hutan. Setelah beberapa hari dalam hutan dia akan pulang dengan membawa beberapa helai papan/tonggak yang telah jadi dan membawa ke pasar untuk di jual. Dari hasil penjualan papan/tonggak inilah dia menghidupkan keluarganya.

Pada suatu hari ketika niniak ini berangkat ke hutan, di tengah hutan tempat dia bisa lewat tertutup. Niniak ini kaget, kenapa ada makhluk yang menghambat jalannya. Makhluk ini sangat besar sehingga menutup pemandangannya. Niniak berusaha untuk mengusirnya tapi makhluk ini tidak bergeming, malah balik menyerang. Ternyata makhluk ini adalah seekor ular naga yang besar. Tidak bisa disangkal lagi darah pituah niniak moyang langsung mengalir ke seluruh tubuh niniak, katanya: “Lawan tidak di cari, kalau bertemu pantang mengelak”.

Terjadilah perkelahian antara naga dan niniak gadang bahan. Naga melakukan penyerangan, Niniak Gadang Bahan tidak tinggal diam. Seluruh kemampuan yang dimiliki oleh niniak gadang Bahan di keluarkan. Beliung yang berada di tangan Niniak gadang Bahan bereaksi, dan memang Niniak Gadang Bahan sangat ahli memainkannya, tentu jurus-jurus silat yang sudah mendarah mendaging oleh Niniak Gadang Bahan tak lupa dikeluarkan.


Akhirnya Naga betekuk lutut dan menyerah. Naga kehabisan darah karena sabetan beliaung Niniak Gadang Bahan. Kepala Naga Nyaris putus, darah mengalir dengan deras. Angku Niniak Gadang Bahan menarik naga itu dan melempar dengan sekuat tenaga dan sampai ke sebuah lembah.

Setelah berlangsung beberapa lama Angku Niniak Gadang Bahan mendatangi lembah tempat naga dilemparkan. Ternyata Niniak Gadang Bahan kaget, naga tersebut ternyata tidak mati, dia malah melambangkan badannya dengan posisi membentuk angka delapan, darah dari kepala ular tetap mengalir sehingga memerahkan daerah tersebut.

Sehingga daerah ini menjadi tempat kunjungan yang manarik bagi Angku, dan juga orang-orang yang ada di sekitar itu. Tapi apa yang terjadi, lama-lama badan ular ini mulai tertimbun oleh tanah, dan diantara dua lingkaran ular itu tergenanglah air yang membentuk dua danau kecil. Lama kelamaan danau ini terus semakin besar, sehingga terbentuklah dua bawah Danau yang besar dan indah.

Menurut cerita yang diterima itupulalah terbentuk dua nama daerah. Pertama adalah Lembah Gumanti, yang berasal dari kata “lembah nago nan mati” yaitu sekarang menjadi nama Kecamatan dari tempat kedua Danau ini. Kemudian ada juga yang mengartikan “Lembah Nago nan Sakti”. Yang kedua adalah sebuah daerah yang bernama “Aia Sirah” (Air Merah). Di daerah ini terkenal dengan airnya yang merah. Konon ceritanya penyebab dari air di daerah itu merah adalah darah yang terus keluar dari kepala naga, karena sampai sekarang Naga tersebut masih hidup dan masih mengeluarkan darah.