Search This Blog

Wednesday, September 11, 2019

Legenda Prasasti Munjul

Prasasti Munjul berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta, dipahat pada sebuah batu andesit yang berukuran panjang 3,2 m dan lebar 2,25m. Prasasti Munjul ditulis menggunakan teknik tatah dengan kedalaman gores kurang dari 0,5 cm, sehingga antara permukaan batu asli dengan tulisan hampir sama.
Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita, Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang terjadi di daerah Munjul. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Prasasti Munjul berikut ini :

Dahulu, perairan Ujung Kulon di sekitar Selat Sunda dikuasai oleh para bajak laut yang menjadi ancaman bagi para nelayan di daerah itu. Kaum perompak itu sering merampas ikan hasil tangkapan para nelayan. Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, terdapat suatu gerombolan bajak laut yang beranggotakan 80 orang. Kelompok bajak laut yang sering beraksi di perairan wilayah Kerajaan Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa berubah wujud sesuai kehendaknya. Pada suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok perahu yang ditumpangi oleh tiga orang nelayan. Namun, baru saja para perompak itu memindahkan ikan hasil rampasan ke kapal mereka, tiba-tiba dari kejauhan terlihat sebuah kapal besar berbendera naga sedang menuju ke arah mereka. Kapal besar itu ternyata adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak laut justru merasa senang karena akan memperoleh harta rampasan yang banyak. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang kapal kerajaan itu.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan kerajaan yang ada di dalam kapal dengan bajak laut. Pasukan kerajaan dipimpin oleh seorang menteri dengan dibantu oleh seorang laksamana. Dalam pertempuran itu, kubu bajak laut ternyata lebih kuat daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana, dan sejumlah awak kapal kerajaan tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke tengah laut. Semua harta benda yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para begundal itu. Seminggu berselang, terlihat dua nelayan sedang memancing di laut. Mereka adalah Wamana dan Bhimaparakrama atau Bhima. Ketika sedang asyik memancing, tiba-tiba Bhima melihat mayat yang mengapung di atas air. “Hai lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera menghampiri sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu. Ternyata orang itu masih hidup, hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang amat parah. Kedua nelayan itu pun segera membawa tubuh orang malang tersebut ke pantai untuk diberi pertolongan. “Hai, sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat melihat pakaian yang dikenakan orang itu. “Kamu benar,” sahut Bhima. Setelah siuman, prajurit itu pun menceritakan peristiwa yang telah dialaminya mengenai kejadian perompakan seminggu yang lalu. Setelah mendengar cerita itu, Wamana dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana untuk melapor kepada Raja Purnawarmana. “Betul-betul kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata Raja Purnawarman geram begitu mendengar laporan tersebut. “Dengan ini, aku menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja.
Keesokan harinya, puluhan kapal perang kerajaan bertolak meninggalkan pelabuhan dan dipimpin langsung oleh Raja Purnawarman yang didampingi oleh Panglima Cakrawarman, Senopati Arwajala, serta Nagawarman. Wamana dan Bhima pun ikut serta dalam rombongan itu. Setelah berlayar selama beberapa hari, pada suatu malam armada kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon. Dalam kegelapan yang mencekam, tampak dua titik cahaya kecil di tengah lautan. “Hai, lihat cahaya itu! Aku yakin itu adalah penerangan kapal bajak laut,” kata Panglima Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas mereka melaporkan hal ini kepada sang Raja. Raja Purnawarman kemudian segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap menyerang. Puluhan kapal perang perlahan-lahan mendekati kapal milik bajak laut itu dan lalu mengepungnya. Sementara itu, gerombolan bajak laut yang berada di dalam kapal itu tidak menyadari kehadiran pasukan kerajaan. Rupanya, mereka sudah terlelap, kecuali tiga orang yang terlihat masih terjaga. Itu pun mereka sedang asyik bermain judi di bawah penerangan lampu damar. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Ketika mereka hendak beranjak, ratusan mata tombak menyerbu ke kapal mereka. “Kapal kita diserang… Kapal kita diserang!” seru ketiga bajak laut itu panik. Pemimpin bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain terbangun dari tidur mereka. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dengan melompat ke jendela untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Alangkah terkejut ia saat melihat puluhan kapal milik kerajaan telah mengepung kapal mereka. “Kapal kita dikepung! Kapal kita dikepung!” teriaknya. Belum sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang menggema. “Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”
Begitu terompet itu selesai berbunyi tiga kali, ratusan tombak dan anak panah meluncur ke kapal gerombolan bajak laut. Bersamaan dengan itu, suara-suara kayu hancur dan pekikan orang-orang yang terkena tombak dan anak panah pun terdengar. Tidak ada perlawanan yang berarti dari para bajak laut. Akhirnya, mereka pun dapat ditaklukkan sebelum pagi menjelang. Dari 80 anggota bajak laut tersebut, 27 orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya menjadi tawanan kerajaan. Setelah suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa prajurit lain segera naik kapal bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi, namun tidak seorangpun ditemukan. 

Ketika Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba terdengar suara yang mencurigakan. Cepat-cepatlah ia kembali masuk ke kapal. Ternyata dugaannya benar. Ia menemukan seorang pria yang berseragam prajurit kerajaan yang baunya amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu justru melompat ke laut. Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung bersama pasukan kerajaan. Sementara itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang menanyai satu persatu para tawanan mengenai siapa pemimpin mereka. Setelah ditanya, tak seorang dari mereka yang mengetahuinya karena pemimpin mereka selalu berubah wujud. Namun, salah seorang dari tawanan itu memberitahukan mengenari ciri-ciri pemimpin mereka yaitu berbau amis dan berpenyakit asma. Wamana yang mendengar keterangan tersebut curiga terhadap prajurit yang melompat ke laut tadi dan menceritakannya kepada Raja. 

Setelah mendengar keterangan itu, rombongan sang Raja segera bertolak menuju Pantai Teluk Lada. Selanjutnya mereka menyusuri aliran Sungai Cidangiang hingga masuk ke daerah pedalaman. Setiba di sebuah kampung di tepi sungai yang kini bernama Desa Lebak, mereka disambut meriah oleh tetua kampung dan para warga. Untuk merayakan keberhasilan para pasukan kerajaan dalam menumpas gerombolan bajak laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan mengabadikan peristiwa tersebut. Para prajurit serta penduduk setempat segera mempersiapkan segala sesuatunya. Kaum laki-laki sibuk menyiapkan puluhan kerbau untuk disembelih. Sedangkan kaum perempuan bertugas memasak makanan. Saat tiba waktu makan siang, kaum perempuan terlihat sibuk mengantarkan makanan untuk para pekerja yang sedang beristirahat. Wamana dan Bhima terlihat berbaur dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga pondok tetua kampung. Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di dalam pondok itu. Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan makanan untuk sang Raja. Di antara mereka, tampak seorang gadis cantik berjalan di barisan paling belakang sedang membawa dua buah kendi air minum. Ketika gadis itu melewati tangga pondok itu, Wamana tersentak kaget. Sejenak ia terdiam sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Indra penciumannya merasakan bau amis persis yang pernah dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati beberapa anak tangga untuk menyusul gadis itu.

Saat tiba di dalam pondok, Wamana langsung melompat dan merangkul si gadis yang baru saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh wanita itu pun terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. “Huh, kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala gadis itu. Setelah itu, Wamana segera menendang kendi air yang dibawa gadis tadi hingga terpental dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap Wamana, termasuk Bhima. “Hai, Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu? Hentikan leluconmu itu!” seru Bhima. Dengan nafas tersengau-sengau, Wamana menjelaskan bahwa kendi itu berisi air minum yang telah dicampur racun. Ia juga mengatakan bahwa gadis itu berbau amis. “Masih ingatkah kalian keterangan para tawanan tadi? Bukankah ciri-ciri pemimpin bajak laut berbau amis dan dapat berubah wujud ?” kata Wamana. Mendengar penjelasan tersebut, sang Raja langsung memerintahkan panglimanya untuk meringkus gadis jelmaan pemimpin bajak laut itu. Ketika hendak diringkus, tiba-tiba gadis itu berubah wujud menjadi pria bertubuh besar. Ia murka dan meronta-ronta sehingga Wamana yang berada di atas punggungnya pun terpental ke belakang. Secepat kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak laut itu lalu mengangkatnya ke atas hingga matanya melotot dan wajahnya memerah. Cekikan Bhima amat kuat membuat tubuh pemimpin perampok itu menjadi lemas. Bhima pun segera melepaskan cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh dengan lunglai ke lantai. “Prajurit, cepat ringkus dia!” seru Bhima. Setelah itu, sang Raja memerintahkan para prajuritnya agar pemimpin gerombolan itu dihukum mati lalu dibuang ke laut. Dengan tewasnya pemimpin gerombolan itu, maka sempurnalah penumpasan gerombolan bajak laut oleh pasukan kerajaan. Untuk mengabadikan peristiwa ini, pasukan kerajaan bersama penduduk Lebak membangun prasasti di tepi Sungai Cidangiang. Prasasti itu ditulis langsung oleh Raja Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Bunyi prasasti itu antara lain seperti berikut:

“Vikrantayam vanipateh, Prabbhuh satyaparakramah, Narendraddhvajabutena crimatah, Purnnavarmmanah” Artinya:(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman.

Hingga saat ini, prasasti tersebut masih dapat kita temukan di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Oleh masyarakat setempat, prasasti tersebut dinamakan Prasasti Munjul.

Demikian cerita Legenda Prasasti Munjul dari Banten. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka berbuat jahat seperti para gerombolan bajak laut tersebut akan menerima ganjarannya.

1        2        3        4        5        6        7        8        9        10...

AWANG SUKMA DAN TELAGA BIDADARI

Di pinggir hutan yang lebat, di pematang dirindungi pepohonan yang lebat dan rindang, terdapat sebuah telaga kecil yang tak seberapa dalam. Air nya jernih dan bening, meskipun musim kemarau tak pernah kering sekalipun.

Di dekat telaga itu tinggallah seorang lelaki muda nan rupawan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar Data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma. Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai. Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu. “Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu. Perasaan putri bungsu berkecamuk . Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya. “Aku harus kembali,” katanya dalam hati. Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga. Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi. “Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya. Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.


1       2       3        4       5       6       7       8       9       10......

CERITA ASAL TUNJUNG KUTAI

Suku Tunjung merupakan satu dari 28 anak suku Dayak yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Mereka sebagian besar mendiami tepian Sungai Mahakam dan Sungai Bengkalang. Pada zaman dahulu, suku ini dipimpin oleh raja secara turun-temurun. Siapakah raja pertama suku Tunjung yang kemudian menurunkan raja-raja berikutnya? Temukan jawabannya dalam Cerita Asal Usul Raja-Raja Suku Tunjung Dayak berikut ini!
Di daerah Kalimantan Timur, ada dua orang bersaudara yang bernama Gah Bogan dan Suman. Gah Bogan tinggal di Negeri Linggang yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengkalang. Sementara itu, Suma menetap di Negeri Londong, sebelah kanan mudik Sungai Mahakam.
Suatu hari, istri Gah Bogan yang bernama Gah Bongek melahirkan anak kembar delapan. Barangkali karena alasan tidak sanggup menghidupi kedelapan anak tersebut sehingga pasangan suami istri itu memutuskan untuk membuang anak-anak mereka ke Sungai Mahakam.
Beberapa tahun kemudian, Gah Bongek kembali melahirkan anak kembar delapan. Keduanya pun bersepakat membuang kedelapan anak mereka ke tengah hutan. Ketika istri Gah Bogan kembali melahirkan yang ketiga kalinya dan mendapatkan anak kembar delapan lagi, akhirnya mereka pun memutuskan untuk merawat dan membesarkan kedelapan anak tersebut. Kedelapan anak itu mereka beri nama Sangkariak Igas, Sangkariak Laca, Sangkariak Lani, Sangkariak Inggih, Sangkariak Injung, Sangkariak Kebon, Sangkariak Lanan, dan yang paling bungsu adalah Sangkariak Daka.Waktu terus berjalan. Kedelapan bersaudara itu tumbuh dewasa dan mereka mendirikan permukiman di pinggiran Sungai Bengkalang. Sehari-hari mereka mencari ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Suatu hari, saat mereka sedang makan bersama, tiba-tiba terdengar suara gaib dari langit. “Jo jo sambut disambut mati, tidak sambut mati,” demikian kata suara itu. “Ulur mati habis, tidak terulur mati lumus,” sahut Sangkariak Kebon menjawab suara itu.

Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba sebuah kelengkang (sejenis keranjang) yang teulur dengan tali seolah-olah turun dari langit. Ternyata kelengkang itu berisi seorang bayi laki-laki tampan yang menggenggam sebutir telur di tangan kanannya. Alangkah senangnya hati mereka mendapat hadiah tersebut dari Ape Bongan Tana (Tuhan Yang Mahakuasa). Oleh Sangkariak Igas, bayi itu diberi nama Aji Julur Dijangkat. Telur yang ada digenggaman bayi itu mereka simpan dengan baik. Beberapa hari kemudian, telur itu pun menetas menjadi seekor ayam jantan dan diberi nama Jong Perak Kemudi Besi. Dengan penuh kasih sayang, kedelapan bersaudara tersebut merawat dan membesarkan bayi dan ayam jantan itu hingga dewasa.
Sementara itu, istri Suma juga melahirkan delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah Kemunduk Bengkong, Kemunduk Kandangan, Kemunduk Murung, Kemunduk Jumai, Kemunduk Jangkak, Kemunduk Mandar, Kemunduk Bulan, dan Kemunduk Beran. Kini, kedelapan putra-putri Suma tersebut juga sudah beranjak dewasa. Sehari-hari mereka mencari kayu bakar di hutan dan menangkap ikan di Sungai Mahakam.
Suatu hari, kedelapan bersaudara itu baru saja pulang dari hutan mencari kayu bakar. Hari itu, mereka tidak hanya membawa kayu bakar, tetapi juga bambu petung untuk digunakan sebagai lantai rumah. Ketika mereka sedang asyik melepas lelah di depan rumah, tiba-tiba terdengar suara letusan keras disusul suara tangis seorang bayi beberapa saat setelahnya. Kedelapan bersaudara itu pun langsung terperanjat dari tempatnya. “Hai, suara apa itu?” tanya Kemunduk Kandangan. “Sepertinya suara letusan itu berasal dari tumpukan kayu bakar yang kita bawa tadi,” sahut Kemunduk Mandar. “Kalau begitu, ayo kita periksa!” seru Kemunduk Bengkong.
Setelah memeriksa sumber suara letusan tersebut, ternyata bambu petung yang dibawa oleh Kemunduk Bengkong tadi meledak dan mengeluarkan seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik rupawan. Bayi itu tergeletak di atas puing-puing bambu petung yang meledak tadi. “Hai, lihat!” seru Kemunduk Jangkak, “Di tangan bayi itu tergenggam sebutir telur ayam.” Kemunduk Bengkong pun segera mengambil telur ayam itu lalu menggendong sang bayi. Oleh kedelapan bersaudara tersebut, bayi itu diberi nama Muk Bandar Bulan yang artinya “putri menerangi negeri”. Sementara itu, telur ayam itu mereka letakkan di tempat yang aman. Tak berapa lama kemudian, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam betina. Sama halnya kedelapan anak Goh Bogan, Kemunduk Bengkong berserta saudara-saudaranya merawat dan membesarkan bayi dan anak ayam tersebut hingga dewasa. Putri Muk Bundar Bulan tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan bijaksana. Tak mengherankan jika ia diangkat menjadi ratu di sebuah negeri yang bernama Tanah Tunjung. Sejak itu, Ratu Negeri Tunjung itu kerap melakukan kunjungan ke negeri-negeri tetangga, termasuk Negeri Linggang.
Suatu hari, Ratu Muk Bundar Bulan mendengar kabar bahwa di Negeri Linggang ada seekor ayam jantan yang berbulu putih, berjambul, dan berjambing. Ayam jantan itu tak lain adalah si Jong Perak Kemudi Besi milik Aji Julur Dijangkat. Sang ratu sangat tertarik ingin membeli ayam jantan itu untuk dijadikan sebagai pasangan ayam betinanya. Ia pun mengajak Kemunduk Bengkong bersaudara untuk mengunjungi negeri itu. Keesokan hari, Ratu Muk Bundar Bulan beserta rombongannya berangkat menuju ke Negeri Linggang dengan menggunakan sepuluh perahu. Rupanya, pada saat yang bersamaan, Aji Julur Dijangkat beserta Sangkariak Igas bersaudara juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Negeri Londong dengan membawa sepuluh perahu. Akhirnya, kedua rombongan tersebut bertemu di ujung Rantai Genoli dan mereka pun bersepakat untuk berhenti di Negeri Rantau Batu Gonali.

Saat kedua rombongan saling berhadapan, kedua ayam yang ada pada masing-masing rombongan itu saling menyahut. Hal itu pertanda bahwa kedua ayam tersebut saling menyukai. Tidak hanya itu, kedua pemilik ayam tersebut, yaitu Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan ternyata juga saling jatuh hati. “Kakanda bernama Sanghiyang Geragas Pati, anak Raja Sanghiyang Nata Dewi Kencana Peri dari Negeri Bukit Karangan Sari,” kata Muk Bandar Bulan kepada Aji Julur Dijangkat. “Nama Adinda pastilah Putri Ringsa Bunga, anak Sanghiyang Naga Salik dengan Bunda Dewi Randayan Bunga dari Negeri Gunung Asmara Cinta,” sahut Aji Julur Dijangkat.
Rupanya, pemuda tampan dan gadis cantik jelita yang berasal dari Negeri Kahyangan itu ternyata sudah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena merasa cocok dan sudah saling mengenal asal-usul masing-masing, akhirnya Aji Julur Dijingkat dan Muk Bandar Bulan menikah dan setelah itu mereka menetap di Negeri Rantau Batu Gonali. Seluruh penduduk Negeri Linggang dan Negeri Londong pun pindah dan ikut menetap di negeri itu. Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar kemudian membuat rumah panjang yang terbuat dari kayu benggeris. Rumah panjang itu diberi nama Lamin. Hingga kini, rumah ini menjadi rumah tradisional khas Suku Dayak Tunjung di Kalimantan Timur. Sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Kahyangan, masing-masing membawa dua biji pinang sendawar. Dua buah biji pinang milik Aji Julur Dijangkat mereka simpan untuk dimakan bersama, sedangkan dua buah biji pinang milik Muk Bandar Bulan mereka tanam di halaman rumah. Sejak itulah, negeri Rantau Batu Gonali berganti nama menjadi negeri Pinang Sendawar. 

Setelah beberapa tahun kemudian, Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan dikaruniai empat orang anak laki-laki. Mereka adalah Sualis Guna, Nara Gama, Jeliban Bona, dan Puncan Karna. Dalam asuhan kedua orang tua dengan penuh kasih sayang, mereka pun tumbuh dewasa. Suatu hari, sang ayah memanggil mereka untuk menghadap.
“Dengarkanlah, wahai putra-putraku! Kini ayah sudah tua. Sudah saatnya Ayah menunjuk salah satu di antara kalian untuk menggantikan kedudukan Ayah sebagai pemimpin negeri ini,” ungkap Aji Julur Dijingkat di hadapan putra-putranya dan disaksikan oleh sang istri. Kemududuk Bengkong dan adik-adiknya saling menatap satu sama lain. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan ditunjuk oleh sang ayah. Namun, Aji Julur Dijangkat adalah raja yang adil dan bijaksana. “Ayah tidak akan menunjuk langsung salah seorang di antara kalian. Ayah pikir bahwa akan lebih adil jika diadakan lomba menyeberangi sungai sambil membawa gong sebanyak tujuh kali pulang pergi. Siapa pun di antara kalian yang memenangi lomba tersebut maka dialah yang berhak menggantikan Ayah,” ujar sang ayah, “Apakah kalian setuju dengan cara ini?” 
Sualas Guna dan adik-adiknya pun setuju. Pada hari yang telah ditentukan, perlombaan menyeberangi sungai antara keempat bersaudara tersebut siap dimulai. Seluruh rakyat pun berondong-bondong untuk menyaksikan perlombaan tersebut. Setelah gong berbunyi pertanda lomba telah dimulai, para peserta lomba pun mulai mengeluarkan kemampuan masing-masing. Sualas Guna yang mendapat giliran pertama ternyata gagal pada saat memasuki putaran keenam. Demikian pula, Nara Gama dan Jeliban Bona yang mendapat giliran kedua dan ketiga juga gagal yaitu masing-masing pada putaran keempat dan kelima.
Sebagai peserta terakhir, Puncan Karna yang telah mempelajari kesalahan-kesalahan kakak-kakaknya dan ditambah dengan kekuatannya yang luar biasa akhirnya dapat memenangkan lomba itu. Meskipun dinyatakan sebagai pemenang, putra bungsu Aji Julur Dijangkat itu tidak jadi diangkat menjadi Raja Pinang Sendawar karena ia harus pergi ke Kutai Kartanegara atas kehendak Dewata melalui mimpi sang ayah, Pada malam sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Puncan Karna mendapat pesan dari Sanghyang Naga Salik atau neneknya melalui mimpi bahwa Raja Negeri Kutai yang bernama Maharaja Sultan mempunyai enam orang anak. Dua di antaranya adalah putri yaitu Aji Dewa Putri dan Aji Ratu Putri. Menurut sang nenek, Aji Ratu Putri itulah yang akan menjadi jodohnya. Keesokan hari, berangkatlah Puncan Karna ke Negeri Kutai disertai oleh beberapa orang pengawal. Setiba di istana Kutai, pemuda tampan dan perkasa itu langsung menikahi Aji Ratu Putri dan mereka pun hidup berbahagia. Selang beberapa tahun kemudian, pasang suami istri itu dikaruniai beberapa putra yang secara turun-temurun menjadi Raja-raja Tunjung.
Demikian cerita Asal Usul Raja-Raja Tunjung dari Kalimantan Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah pentingnya keutamaan sifat adil sebagaimana yang dimiliki oleh Aji Julur Dijangkat. Untuk menunjuk salah satu putranya yang akan menggantikan dirinya sebagai raja, ia mengadakan lomba menyeberangi sungai dan pemenangnyalah yang berhak atas kedudukan tersebut. Dengan demikian, maka tidak akan ada kecemburuan di antara putra-putranya.

1       2       3        4       5       6       7       8       9       10......

PUTRI PINANG GADING

Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. sang suami bernama Pak Inda, sedangkan sang istri bernama Bu Tumina. mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap rumbia dan berlantai kayu gelegar berlapik jerami. untuk memenuhi kebtuhan kuasa hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang pukat di tepi laut. ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam pukat itu. pada suatu hari, demam isu panen padi bersempurnaan dengan waktu air laut surut. pak inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut. “dik! hari ini abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. bagaimana kalau saudara termuda sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang suami.“baik, bang! kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang istri.
Dengan membawa ambong, berangkatlah pak inda ke laut. ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, biar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam pak inda sambil mengamati bambu itu. “ganjil! miripnya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam pak inda takjub.
oleh sebab sudah tidak tabah ingin melihat seronya, pak inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut biar tidak menghalanginya lagi. sesudah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. pak inda sangat gembira, sebab menerima banyak ikan. sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, sebab ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. sesudah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya. namun, pada ketika akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. tapi, kenapa bambu ini mampu hingga ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya pak inda dalam hati.
“benar-benar ganjil! bambu ini dapat melawan arus air laut. ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu. sesudah beberapa ketika berpikir, pak inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. sehingganya di rumah, pak inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi biar tidak diterbangkan angin.
pada suatu hari, ketika sedang duduk berkalem di rumah, pak inda dan istrinya dikejutkan oleh bunyi Suara bayi menangis. keduanya pun segera menuju ke sumber suara itu. rupanya, sumber suara itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. alangkah terkejutnya mereka ketika melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.“bang, lihat itu! ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang istri.“bayi itu menangis! cepat tolong dia, dik!” seru pak inda kepada istrinya.tanpa berpikir panjang, bu tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. sesudah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
anakku akung, anak kandungku. anak kandung sibiran tulang, obah jerih… pelerai demam.
bu tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. kedua suami-istri itu sangat senang, disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih akung mirip anak kandung mereka sendiri. mereka memberinya nama putri pinang gading.
waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. banyak sudah binatang buruan yang dulu dipanahnya, sebab memang semenjak kecil ia sangat suka bermain panahan dan seringkali dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. semenjak kehadiran putri pinang gading, rezeki pak inda terus bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera. pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di kampung kelekak remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh agresi burung yang besar. oleh masybirat kelekak remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur kawasan ranau. burung gerude itu sangat ganas dan buas. ia mengobrak-abrik permukiman penduduk kelekak remban, dan bahkan sudah menelan seorang warga. seluruh penduduk kelekak remban jadi panik. untuk berlindung dari agresi burung gerude, para warga membuat remban. tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh putri pinang gading yang kini sudah berusia 21 tahun. ia bertekad hendak pergi ke kampung kelekak remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan. “ayah, ibu! izinkanlah putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta putri pinang gading. “apakah kau sanggup mengalahkan burung besar itu, nak?” tanya pak inda khawatir kepada putrinya. “ayah tidak perlu khawatir. putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab putri pinang gading dengan penuh keyakinan. “baiklah, kalau begitu! tapi, kau harus lebih berhati-hati, nak! kami takut kehilanganmu,” ujar pak inda. “benar, nak! kau ialah putri kami satu-satunya,” sahut bu tumina. “baik, ayah, ibu! putri akan jaga diri,” kata putri pinang gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.

Sesudah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, putri pinang gading berangkat menuju kampung kelekak remban. sehingganya di sana, kampung itu tampak sepi. semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. putri pinang gading juga tidak melihat burung gerude itu. “ke mana burung gerude itu? aku sudah tidak tabah lagi ingin membinasakannya,” gumam putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya. baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar bunyi burung yang sangat keras, bunyi itu tidak lain ialah bunyi burung gerude. burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. namun, burung itu tidak menyadari jikalau putri pinang gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar. 
Putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu ketika yang sempurna untuk meluncurkan anak panahnya. pada ketika burung gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. anak panah itu meluncur ke arah burung gerude itu dan sempurna mengenai dadanya. burung gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika. para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni burung gerude yang sudah mati itu. mereka sangat kagum melihat keberanian putri pinang gading. akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan burung gerude. untuk merayakan keberakibatan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang putri pinang gading. konon, tempat jatuhnya burung geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. sementera anak panah putri pinang gading yang mengenai dada burung gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk didijadikan joran pancing. pada ketika memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan kesakitan hingga meninggal sebab bambu itu masih beracun. oleh masybirat setempat, bambu itu disebut dengan Bulo Berantu (bambu beracun). kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. namun, dalam perkembangannya, nama belantu berubah menjadi membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.

Demikian cerita putri pinang gading dari kawasan bangka-belitung (babel), indonesia. cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat pemberani dan pandai menghargai sesuatu.
Pertama, keutamaan sifat pemberani. sifat pemberani yang dimaksud di sini ialah berani sebab benar, berani pada kebaikan dan berani menegakkan keadilan. sifat pemberani ini tercermin pada perilaku putri pinang gading yang berakibat membinasakan burung gerude yang besar dan ganas itu, walaupun ia hanya seorang perempuan. dari sini dapat menyimpulkan sebuah pelajaran bahwa hendaknya orang tua membekali anak-anaknya dengan aneka macam keterampilan semenjak masih kecil.

Kedua, sifat pandai menghargai sesuatu. sifat ini tercermin pada perilaku pak inda. pada mulanya, ia menganggap bahwa sepotong bambu itu tidak bermanfaat baginya. namun, sesudah berpikir, ia pun menyadari ternyata bambu itu berkhasiat dan Bermanfaat. bahkan, suatu hal yang tidak dulu diduga sebelumnya oleh pak inda, ternyata bambu itu berubah menjadi seorang bayi perempuan. ia dan istrinya pun menjadi senang disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. dari sini dapat menyimpulkan sebuah pelajaran bahwa jikalau kita menerima sesuatu benda, hendaknya tidak melihat dari segi fisiknya saja, tetapi memikirkan manfaat yang dapat digunakan dari benda tersebut.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Tuesday, September 10, 2019

RAWA PENING

Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.

Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya. “Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar. Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya. “Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut. “Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.” Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang. “Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi. Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.

Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga. Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud Naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta. “Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.” Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu. “Hai, siapa itu?” tanya pertapa. “Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting. Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran. “Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?” “Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.

Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.” “Baik,” jawab Baru Klinthing.

Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur. Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya. “Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.” Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung. “Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung. “Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.” Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat. “Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.” “Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.

Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut. “Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing. Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening. Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.

Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

JAKA TARUB

Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri.

Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.
Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah.
Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.
Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya.
Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.
Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung.
Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.
Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya.
Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.
Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan.
Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua.
Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub.
Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.
Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini.
Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi.
Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar.
Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.
Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut.
Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.

Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.
“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.
Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya.
Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya.
Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.
Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.
Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi.
Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun.
Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kearah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening.Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.

Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.
Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.
Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak.

Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga. Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju selendang Nawangwulan sudah dibawa Jaka Tarub .

Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa.

Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata. Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”.
Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”. Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya. Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.

Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.
Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !! Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya.
Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan. Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab.

Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat. Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar. “Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya. “Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan. “Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya. “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsih. “Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar”, lanjut Nawangwulan.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawangwulan.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

SANGKURIANG

Kisah ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena kesalahan yang dibuatnya di kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di dunia. Keduanya dihukum untuk berbuat kebaikan dalam hidupnya di bumi dalam bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing. Babi hutan jelmaan dewi itu bernama Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu bernama Tumang. Wayung Hyang karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia berusaha melakukan berbagai kebaikan di dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang anjing jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing pemburu pada seorang raja yang bernama Sumbing Perbangkara.
Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu tempat yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali kencing. Ia kemudian kencing dan tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat, babi hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing Sumbing Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.
Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali ke hutan tersebut setelah berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Sumbing Perbangkara yang berburu kijang mendengar suara tangisan bayi. Ditemani anjing pemburunya Tumang, ia akhirnya menemukan bayi perempuan yang tak lain adalah anaknya sendiri. Terpikat oleh keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang putri yang berparas elok. Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga didengar raja-raja dan para pangeran. Dayang Sumbi diperebutkan. Perang besar terjadi di mana-mana. Merasa tidak nyaman dengan perang yang terjadi di mana-mana karena memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta kepada ayahnya raja Sumbing Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan. Sumbing Perbangkara akhirnya mengijinkannya dan memberikan Tumang si anjing pemburu untuk menemaninya. Dayang Sumbi tinggal di sebuah pondok di tepi hutan. Dengan kehidupannya yang sederhana tak seorangpun yang tahu bahwa ia adalah Dayang Sumbi yang diperebutkan banyak raja dan pangeran. Di pondok itu ia mengisi kegiatannya dengan menenun.
Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas sebuah bale-bale. Karena mengantuk, alat tenunnya yang disebut torak jatuh ke lantai. Dayang Sumbi merasa malas sekali memungut torak itu, sehingga ia bersumpah bahwa ia akan menikahi siapapun yang mengambilkan torak itu untuknya. Tumang, anjing yang ditugaskan menemani Dayang Sumbi akhirnya mengambilkan torak yang terjatuh itu dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi. Demi memenuhi sumpah yang terlanjur diucapkannya, Dayang Sumbi akhir menikah dengan Tumang.
Raja Sumbing Perbangkara yang mengetahui hal itu akhirnya merasa sangat malu. Putrinya yang cantik menikah dengan seekor anjing dan kini tengah mengandung. Dayang Sumbi akhirnya diasingkan ke hutan bersama-sama dengan Tumang. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa Tumang adalah jelmaan seorang dewa, kecuali Dayang Sumbi. Setiap malam purnama, Tumang dapat menjelma menjadi seorang lelaki yang tampan. 
Dayang Sumbi yang hamil akhirnya melahirkan seorang putra yang tampan. Kulitnya putih dengan rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang. Bayi itu kemudian tumbuh menjadi anak yang tangkas. 
Sangkuriang telah mulai mahir memanah, pada suatu hari diminta ibunya untuk berburu. Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Ditemani Tumang, Sangkuriang berburu di hutan. Di suatu tempat, Sangkuriang melihat babi hutan Wayung Hyang melintas. Ia segera membidikkan panahnya. Akan tetapi Wayung Hyang berlari dan bersembunyi dengan gesit. Sangkuriang memerintahkan anjing pemburunya, Tumang untuk mengejar babi hutan itu. Tumang yang mengetahui jika babi hutan itu bukan sembarang babi hutan melainkan jelmaan dewi yang bernama Wayung Hyang, menolak perintah Sangkuriang. Tumang, si anjing jelmaan dewa itu hanya duduk diam memandang Sangkuriang. 

Sangkuriang sangat marah kepada Tumang. Ia menakut-nakuti Tumang dengan mengarahkan anak panah pada Tumang. Tetapi, tanpa sengaja, ia melepaskan anak panah itu pada busurnya. Anak panah melesat dan menghunjam ke tubuh Tumang. Anjing jelmaan dewa itu tewas. Sangkuriang yang ketakutan bercampur putus asa akhirnya mengambil hati Tumang. Hati itu kemudian dibawanya pulang dan diserahkannya kepada dayang Sumbi dengan mengatakan bahwa itu adalah hati rusa hasil buruannya. 
Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu, mereka ia makan dengan lahap. Setelah selesai makan, Dayang Sumbi teringat akan Tumang. Ia bertanya kepada Sangkuriang di mana anjing Tumang. Sangkuriang yang akhirnya tidak bisa berkelit jujur mengakui bahwa Tumang telah tewas karena panahnya dan hatinya telah diserahkan kepada ibunya untuk dimasak. 
Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Ia kemudian mengambil centong nasi dan memukul kepala Sangkuriang hingga terluka sangat parah. Akan tetapi, luka di hati Sangkuriang lebih parah. Ia akhirnya lari dari pondok mereka. 
Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari, Dayang Sumbi akhirnya merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya satu-satunya yang telah menemaninya hidup di hutan bersama Tumang. Demi menenangkan perasaannya, Dayang Sumbi akhirnya bertapa. Dalam pertapaannya, Dayang Sumbi kemudian dikaruniakan umur panjang dan awet muda. Semumur hidupnya, ia akan tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan tak akan pernah terlihat tua. 
Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara ke mana-mana. Ia berguru dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar hutan. Saat Sangkuriang telah menjadi pemuda sakti dan perkasa, ia mengalahkan semua makhluk-makhluk halus atau guriang yang ditemuinya dalam pengembaraan. Ia menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya menjadi tuan dari guriang-guriang itu. 

Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi. Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, lalu akhirnya jatuh cinta. Perasaan Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi juga terpikat oleh ketampanan Sangkuriang. Akhirnya, Sangkuriang berniat menikahi Dayang Sumbi. 
Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan ikat kepala Sangkuriang, ia melihat ada bekas luka yang sangat besar. Setelah mengamati wajah Sangkuriang, barulah ia sadar bahwa ia akan menikah dengan anak kandungnya sendiri. Sangkuriang sendiri tidak menyangka bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya. 
Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah putranya. Tetapi Sangkuriang telah kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap memaksa. Akhirnya Dayang Sumbi secara halus menghindari terjadinya perkawinan mereka. Ia meminta Sangkuriang membuatkannya sebuah danau lengkap dengan perahunya dalam semalam. Bagi Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil untuk dapat dilakukan oleh Sangkuriang. Anak kandungnya itu tidak akan sanggup memenuhi persyaratan yang mintanya. Di luar dugaan Dayang Sumbi, Sangkuriang menyanggupi permintaannya. 

Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau. Sangkurang menebang pohon, bekas pohon tebangannya itu berubah menjadi sebuah bukit yang kini dikenal sebagai Gunung Bukit Tunggul, sementara daun, ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan terbentuklah Gunung Burangrang. Ia telah bekerja separuh malam. Selanjutnya setelah perahu selesai dibuat Sangkuriang mulai membuat danau. Sangkuriang, seperti pengerjaan perahu, mengerahkan makhluk halus guriang untuk membantu. Melihat situasi ini, Dayang Sumbi menjadi ketakutan. Akhirnya ia menebarkan kain-kain hasil tenunannya di arah timur. Ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar usaha Sangkuriang digagalkan. Doanya dikabulkan. Kain-kain tenunan Dayang Sumbi bercahaya kemerah-merahan di ufuk timur. Ayam-ayam jantan kemudian berkokok. Kemudian, makhluk-makhluk halus guriang yang membantu pekerjaan Sangkuriang membuat danau mengira hari akan segera pagi. Merekapun segera berlari dan bersembunyi masuk ke dalam tanah. Sangkuriang tinggal sendirian dengan pekerjaan pembuatan danau yang hampir selesai. Sangkuriang merasa usahanya telah gagal. Ia menjadi marah sekali. 

Sangkuriang mengamuk. Sumbat yang dibuatnya untuk membendung Sungai Citarum dibuangnya ke arah timur dan menjadi Gunung Manglayang. Danau Talaga Bandung yang dibuatnya kemudian menyurut. Lalu dengan sekali tendangan keras, perahu buatannya terlempar jauh dan tertelungkup. Dalam sekejap berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. 

Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang melarikan diri. Ketika Dayang Sumbi hampir terkejar oleh Sangkuriang di Gunung Putri, Dayang Sumbi memohon pertolongan Sang Hyang Tunggal. Ia akhirnya menjelma menjadi sekuntum bunga jaksi. Sangkuriang terus mencari Dayang Sumbi hingga sampai ke Ujung Berung dan tersesat ke alam gaib.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......