Search This Blog

Wednesday, September 11, 2019

PUTRI PINANG GADING

Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. sang suami bernama Pak Inda, sedangkan sang istri bernama Bu Tumina. mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap rumbia dan berlantai kayu gelegar berlapik jerami. untuk memenuhi kebtuhan kuasa hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang pukat di tepi laut. ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam pukat itu. pada suatu hari, demam isu panen padi bersempurnaan dengan waktu air laut surut. pak inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut. “dik! hari ini abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. bagaimana kalau saudara termuda sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang suami.“baik, bang! kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang istri.
Dengan membawa ambong, berangkatlah pak inda ke laut. ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, biar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam pak inda sambil mengamati bambu itu. “ganjil! miripnya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam pak inda takjub.
oleh sebab sudah tidak tabah ingin melihat seronya, pak inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut biar tidak menghalanginya lagi. sesudah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. pak inda sangat gembira, sebab menerima banyak ikan. sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, sebab ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. sesudah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya. namun, pada ketika akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. tapi, kenapa bambu ini mampu hingga ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya pak inda dalam hati.
“benar-benar ganjil! bambu ini dapat melawan arus air laut. ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu. sesudah beberapa ketika berpikir, pak inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. sehingganya di rumah, pak inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi biar tidak diterbangkan angin.
pada suatu hari, ketika sedang duduk berkalem di rumah, pak inda dan istrinya dikejutkan oleh bunyi Suara bayi menangis. keduanya pun segera menuju ke sumber suara itu. rupanya, sumber suara itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. alangkah terkejutnya mereka ketika melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.“bang, lihat itu! ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang istri.“bayi itu menangis! cepat tolong dia, dik!” seru pak inda kepada istrinya.tanpa berpikir panjang, bu tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. sesudah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
anakku akung, anak kandungku. anak kandung sibiran tulang, obah jerih… pelerai demam.
bu tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. kedua suami-istri itu sangat senang, disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih akung mirip anak kandung mereka sendiri. mereka memberinya nama putri pinang gading.
waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. banyak sudah binatang buruan yang dulu dipanahnya, sebab memang semenjak kecil ia sangat suka bermain panahan dan seringkali dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. semenjak kehadiran putri pinang gading, rezeki pak inda terus bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera. pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di kampung kelekak remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh agresi burung yang besar. oleh masybirat kelekak remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur kawasan ranau. burung gerude itu sangat ganas dan buas. ia mengobrak-abrik permukiman penduduk kelekak remban, dan bahkan sudah menelan seorang warga. seluruh penduduk kelekak remban jadi panik. untuk berlindung dari agresi burung gerude, para warga membuat remban. tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh putri pinang gading yang kini sudah berusia 21 tahun. ia bertekad hendak pergi ke kampung kelekak remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan. “ayah, ibu! izinkanlah putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta putri pinang gading. “apakah kau sanggup mengalahkan burung besar itu, nak?” tanya pak inda khawatir kepada putrinya. “ayah tidak perlu khawatir. putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab putri pinang gading dengan penuh keyakinan. “baiklah, kalau begitu! tapi, kau harus lebih berhati-hati, nak! kami takut kehilanganmu,” ujar pak inda. “benar, nak! kau ialah putri kami satu-satunya,” sahut bu tumina. “baik, ayah, ibu! putri akan jaga diri,” kata putri pinang gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.

Sesudah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, putri pinang gading berangkat menuju kampung kelekak remban. sehingganya di sana, kampung itu tampak sepi. semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. putri pinang gading juga tidak melihat burung gerude itu. “ke mana burung gerude itu? aku sudah tidak tabah lagi ingin membinasakannya,” gumam putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya. baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar bunyi burung yang sangat keras, bunyi itu tidak lain ialah bunyi burung gerude. burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. namun, burung itu tidak menyadari jikalau putri pinang gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar. 
Putri pinang gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu ketika yang sempurna untuk meluncurkan anak panahnya. pada ketika burung gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. anak panah itu meluncur ke arah burung gerude itu dan sempurna mengenai dadanya. burung gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika. para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni burung gerude yang sudah mati itu. mereka sangat kagum melihat keberanian putri pinang gading. akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan burung gerude. untuk merayakan keberakibatan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang putri pinang gading. konon, tempat jatuhnya burung geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. sementera anak panah putri pinang gading yang mengenai dada burung gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk didijadikan joran pancing. pada ketika memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan kesakitan hingga meninggal sebab bambu itu masih beracun. oleh masybirat setempat, bambu itu disebut dengan Bulo Berantu (bambu beracun). kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. namun, dalam perkembangannya, nama belantu berubah menjadi membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.

Demikian cerita putri pinang gading dari kawasan bangka-belitung (babel), indonesia. cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat pemberani dan pandai menghargai sesuatu.
Pertama, keutamaan sifat pemberani. sifat pemberani yang dimaksud di sini ialah berani sebab benar, berani pada kebaikan dan berani menegakkan keadilan. sifat pemberani ini tercermin pada perilaku putri pinang gading yang berakibat membinasakan burung gerude yang besar dan ganas itu, walaupun ia hanya seorang perempuan. dari sini dapat menyimpulkan sebuah pelajaran bahwa hendaknya orang tua membekali anak-anaknya dengan aneka macam keterampilan semenjak masih kecil.

Kedua, sifat pandai menghargai sesuatu. sifat ini tercermin pada perilaku pak inda. pada mulanya, ia menganggap bahwa sepotong bambu itu tidak bermanfaat baginya. namun, sesudah berpikir, ia pun menyadari ternyata bambu itu berkhasiat dan Bermanfaat. bahkan, suatu hal yang tidak dulu diduga sebelumnya oleh pak inda, ternyata bambu itu berubah menjadi seorang bayi perempuan. ia dan istrinya pun menjadi senang disebabkan sudah menerima seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. dari sini dapat menyimpulkan sebuah pelajaran bahwa jikalau kita menerima sesuatu benda, hendaknya tidak melihat dari segi fisiknya saja, tetapi memikirkan manfaat yang dapat digunakan dari benda tersebut.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Tuesday, September 10, 2019

RAWA PENING

Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.

Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya. “Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar. Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya. “Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut. “Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.” Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang. “Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi. Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.

Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga. Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud Naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta. “Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.” Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu. “Hai, siapa itu?” tanya pertapa. “Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting. Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran. “Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?” “Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.

Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.” “Baik,” jawab Baru Klinthing.

Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur. Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya. “Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.” Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung. “Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung. “Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.” Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat. “Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.” “Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.

Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut. “Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing. Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening. Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.

Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

JAKA TARUB

Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri.

Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.
Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah.
Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.
Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya.
Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.
Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung.
Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.
Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya.
Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.
Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan.
Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua.
Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub.
Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.
Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini.
Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi.
Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar.
Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.
Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut.
Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.

Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.
“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.
Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya.
Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya.
Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.
Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.
Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi.
Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun.
Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kearah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening.Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.

Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.
Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.
Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak.

Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga. Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju selendang Nawangwulan sudah dibawa Jaka Tarub .

Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa.

Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata. Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”.
Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”. Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya. Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.

Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.
Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !! Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya.
Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan. Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab.

Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat. Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar. “Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya. “Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan. “Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya. “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsih. “Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar”, lanjut Nawangwulan.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawangwulan.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

SANGKURIANG

Kisah ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena kesalahan yang dibuatnya di kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di dunia. Keduanya dihukum untuk berbuat kebaikan dalam hidupnya di bumi dalam bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing. Babi hutan jelmaan dewi itu bernama Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu bernama Tumang. Wayung Hyang karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia berusaha melakukan berbagai kebaikan di dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang anjing jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing pemburu pada seorang raja yang bernama Sumbing Perbangkara.
Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu tempat yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali kencing. Ia kemudian kencing dan tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat, babi hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing Sumbing Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.
Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali ke hutan tersebut setelah berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Sumbing Perbangkara yang berburu kijang mendengar suara tangisan bayi. Ditemani anjing pemburunya Tumang, ia akhirnya menemukan bayi perempuan yang tak lain adalah anaknya sendiri. Terpikat oleh keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang putri yang berparas elok. Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga didengar raja-raja dan para pangeran. Dayang Sumbi diperebutkan. Perang besar terjadi di mana-mana. Merasa tidak nyaman dengan perang yang terjadi di mana-mana karena memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta kepada ayahnya raja Sumbing Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan. Sumbing Perbangkara akhirnya mengijinkannya dan memberikan Tumang si anjing pemburu untuk menemaninya. Dayang Sumbi tinggal di sebuah pondok di tepi hutan. Dengan kehidupannya yang sederhana tak seorangpun yang tahu bahwa ia adalah Dayang Sumbi yang diperebutkan banyak raja dan pangeran. Di pondok itu ia mengisi kegiatannya dengan menenun.
Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas sebuah bale-bale. Karena mengantuk, alat tenunnya yang disebut torak jatuh ke lantai. Dayang Sumbi merasa malas sekali memungut torak itu, sehingga ia bersumpah bahwa ia akan menikahi siapapun yang mengambilkan torak itu untuknya. Tumang, anjing yang ditugaskan menemani Dayang Sumbi akhirnya mengambilkan torak yang terjatuh itu dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi. Demi memenuhi sumpah yang terlanjur diucapkannya, Dayang Sumbi akhir menikah dengan Tumang.
Raja Sumbing Perbangkara yang mengetahui hal itu akhirnya merasa sangat malu. Putrinya yang cantik menikah dengan seekor anjing dan kini tengah mengandung. Dayang Sumbi akhirnya diasingkan ke hutan bersama-sama dengan Tumang. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa Tumang adalah jelmaan seorang dewa, kecuali Dayang Sumbi. Setiap malam purnama, Tumang dapat menjelma menjadi seorang lelaki yang tampan. 
Dayang Sumbi yang hamil akhirnya melahirkan seorang putra yang tampan. Kulitnya putih dengan rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang. Bayi itu kemudian tumbuh menjadi anak yang tangkas. 
Sangkuriang telah mulai mahir memanah, pada suatu hari diminta ibunya untuk berburu. Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Ditemani Tumang, Sangkuriang berburu di hutan. Di suatu tempat, Sangkuriang melihat babi hutan Wayung Hyang melintas. Ia segera membidikkan panahnya. Akan tetapi Wayung Hyang berlari dan bersembunyi dengan gesit. Sangkuriang memerintahkan anjing pemburunya, Tumang untuk mengejar babi hutan itu. Tumang yang mengetahui jika babi hutan itu bukan sembarang babi hutan melainkan jelmaan dewi yang bernama Wayung Hyang, menolak perintah Sangkuriang. Tumang, si anjing jelmaan dewa itu hanya duduk diam memandang Sangkuriang. 

Sangkuriang sangat marah kepada Tumang. Ia menakut-nakuti Tumang dengan mengarahkan anak panah pada Tumang. Tetapi, tanpa sengaja, ia melepaskan anak panah itu pada busurnya. Anak panah melesat dan menghunjam ke tubuh Tumang. Anjing jelmaan dewa itu tewas. Sangkuriang yang ketakutan bercampur putus asa akhirnya mengambil hati Tumang. Hati itu kemudian dibawanya pulang dan diserahkannya kepada dayang Sumbi dengan mengatakan bahwa itu adalah hati rusa hasil buruannya. 
Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu, mereka ia makan dengan lahap. Setelah selesai makan, Dayang Sumbi teringat akan Tumang. Ia bertanya kepada Sangkuriang di mana anjing Tumang. Sangkuriang yang akhirnya tidak bisa berkelit jujur mengakui bahwa Tumang telah tewas karena panahnya dan hatinya telah diserahkan kepada ibunya untuk dimasak. 
Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Ia kemudian mengambil centong nasi dan memukul kepala Sangkuriang hingga terluka sangat parah. Akan tetapi, luka di hati Sangkuriang lebih parah. Ia akhirnya lari dari pondok mereka. 
Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari, Dayang Sumbi akhirnya merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya satu-satunya yang telah menemaninya hidup di hutan bersama Tumang. Demi menenangkan perasaannya, Dayang Sumbi akhirnya bertapa. Dalam pertapaannya, Dayang Sumbi kemudian dikaruniakan umur panjang dan awet muda. Semumur hidupnya, ia akan tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan tak akan pernah terlihat tua. 
Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara ke mana-mana. Ia berguru dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar hutan. Saat Sangkuriang telah menjadi pemuda sakti dan perkasa, ia mengalahkan semua makhluk-makhluk halus atau guriang yang ditemuinya dalam pengembaraan. Ia menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya menjadi tuan dari guriang-guriang itu. 

Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi. Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, lalu akhirnya jatuh cinta. Perasaan Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi juga terpikat oleh ketampanan Sangkuriang. Akhirnya, Sangkuriang berniat menikahi Dayang Sumbi. 
Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan ikat kepala Sangkuriang, ia melihat ada bekas luka yang sangat besar. Setelah mengamati wajah Sangkuriang, barulah ia sadar bahwa ia akan menikah dengan anak kandungnya sendiri. Sangkuriang sendiri tidak menyangka bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya. 
Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah putranya. Tetapi Sangkuriang telah kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap memaksa. Akhirnya Dayang Sumbi secara halus menghindari terjadinya perkawinan mereka. Ia meminta Sangkuriang membuatkannya sebuah danau lengkap dengan perahunya dalam semalam. Bagi Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil untuk dapat dilakukan oleh Sangkuriang. Anak kandungnya itu tidak akan sanggup memenuhi persyaratan yang mintanya. Di luar dugaan Dayang Sumbi, Sangkuriang menyanggupi permintaannya. 

Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau. Sangkurang menebang pohon, bekas pohon tebangannya itu berubah menjadi sebuah bukit yang kini dikenal sebagai Gunung Bukit Tunggul, sementara daun, ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan terbentuklah Gunung Burangrang. Ia telah bekerja separuh malam. Selanjutnya setelah perahu selesai dibuat Sangkuriang mulai membuat danau. Sangkuriang, seperti pengerjaan perahu, mengerahkan makhluk halus guriang untuk membantu. Melihat situasi ini, Dayang Sumbi menjadi ketakutan. Akhirnya ia menebarkan kain-kain hasil tenunannya di arah timur. Ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar usaha Sangkuriang digagalkan. Doanya dikabulkan. Kain-kain tenunan Dayang Sumbi bercahaya kemerah-merahan di ufuk timur. Ayam-ayam jantan kemudian berkokok. Kemudian, makhluk-makhluk halus guriang yang membantu pekerjaan Sangkuriang membuat danau mengira hari akan segera pagi. Merekapun segera berlari dan bersembunyi masuk ke dalam tanah. Sangkuriang tinggal sendirian dengan pekerjaan pembuatan danau yang hampir selesai. Sangkuriang merasa usahanya telah gagal. Ia menjadi marah sekali. 

Sangkuriang mengamuk. Sumbat yang dibuatnya untuk membendung Sungai Citarum dibuangnya ke arah timur dan menjadi Gunung Manglayang. Danau Talaga Bandung yang dibuatnya kemudian menyurut. Lalu dengan sekali tendangan keras, perahu buatannya terlempar jauh dan tertelungkup. Dalam sekejap berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. 

Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang melarikan diri. Ketika Dayang Sumbi hampir terkejar oleh Sangkuriang di Gunung Putri, Dayang Sumbi memohon pertolongan Sang Hyang Tunggal. Ia akhirnya menjelma menjadi sekuntum bunga jaksi. Sangkuriang terus mencari Dayang Sumbi hingga sampai ke Ujung Berung dan tersesat ke alam gaib.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Monday, September 9, 2019

CIUNG WANARA

Dongeng Ciung Wanara adalah cerita rakyat Sunda yang sangat terkenal. Cerita Ciung Wanara populer di daerah Jawa Barat saja, tapi juga sudah tersebar ke seluruh Nusantara. Cerita Rakyat Ciung Wanara memiliki kemiripan dengan cerita rakyat jawa Timur yang berjudul Cindelaras (Cerita Rakyat Jawa Timur : Kisah Cindelaras).

Pada zaman dahulu kala. Di sebuh daerah Jawa barat terdapat Kerajaan,yang bernama Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh di pimpin oleh seorang Raja yang bijaksana. Raja tersebut bernama Raden Barma Wijaya Kusuma. Sang Raja memiliki dua Permaisuri. Permaisuri pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum dan yang kedua Nyimas Dewi Pangrenyep. Dalam waktu bersamaan kedua Permaisuri tersebut dalam kedaan mengandung.
Suatu hari, Permaisuri Nyimas Dewi Pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Ia melahirkan seorang Bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Pangeran tersebut di beri nama Hariangbanga. Tidak lama kemudian Permaisuri Dewi Naganingrum pun akan segera melahirkan. Dewi Pangrenyep bergegas untuk membantunya. Akhirnya, Dewi Naganingrum melahirkan seorang Bayi Laki-laki yang tidak kalah lucu dan tampan dari kakaknya Hariangbanga.
Di balik kesediaannya menolong persalinan Dewi Naganingrum. Ternyata Dewi Pangrenyep tidak menyukain Dewi Naganingrum menjadi pesaingnya. Karena ia ingin menguasai Kerajaan dan menjadikan Putranya sebagai Raja kelak. Ia pun merencanakan niat jahatnya yang sudah ia susun agar sesuai dengan harapannya.
Tanpa sepengetahuan siapapun. Bayi Laki-laki yang baru saja di lahirkan Dewi Naganingrum di tukar dengan seekor anak Anjing. Bayi yang sebenarnya di masukkan ke dalam sebuah keranjang. Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur ayam. Ia pun segera menghayutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.
Di Kerajaan terjadi sebuah kehebohan. Kabar yang sangat mengejutkan menggemparkan seluruh isi Istana dan rakyat. Mengetahui kenyataan ini menghancurkan harga dirinya sebagai Raja. Bagaimana tidak, Permaisuri yang selama ini ia cintai sudah melahirkan seekor anak Anjing.
Dalam keadaan marah. Akhirnya, Raja segera memanggil Penasehat Raja yang bernama Ki Lengser. Namun, memanggil Ki Lengser bukan untuk meminta sebuah nasihat. Tapi, memerintahkan Ki Lengser untuk segera membunuh Dewi Naganingrum dan mayatnya di buang jauh-jauh. Raja memerintahkan Ki Lengser segera melakukan tugasnya.
Dalam perjalanan, Ki Lengser berpikir untuk menyelamatkan Dewi Naganingrum tanpa sepengetahuan siapapun. Ki Lengser yakin kejadian yang menimpa Dewi Naganingrum adalah suatu kebohongan. Namun, ia tidak mempunyai bukti untuk membantu Dewi Naganingrum. Ki Lengser membawa Dewi Naganingrung masuk kedalam hutan belantara.
Ki Lengser membuatkan sebuah gubug untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum. Setelah gubug itu selesai di buatnya, dengan terpaksa Ki Lengser meninggalkan Naganingrum seorang diri. Sebelum ia pergi, ia pun berjanji akan mengunjunginya.

Sementara, Naganingrum sangat berharap suatu hari nanti ia dapat bertemu dengan Putra kandungnya. Ia pun berharap dapat kembali ke Istana dan hidup bahagia bersama keluarganya. Ki Lengser pun segera kembali ke istana. Ia langsung mengahadap Raja dan melaporkan bahwa tugasnya untuk membunuh Dewi Naganingrum sudah di laksanakan dengan baik. Untuk membuktikan bahwa ia sudah melaksanakan tugasnya, ia membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan.

Sementara di suatu tempat. Hiduplah sepasang suami istri yang sudah sangat tua. Namun, mereka tidak memiliki anak. Suatu hari, mereka berdua pergi ke sebuah sungai untuk menangkap Ikan. Namun, mereka di kejutkan dengan sebuah keranjang besar berisi seorang bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Mereka sangat bahagia dan mereka berpikir bahwa inilah sebuah jawaban dari doanya.
Sepasang suami istri sangat bersyukur. Satu butir Telur Ayam yang berada di samping Bayi Laki-laki tersebut. Di simpannya telur Ayam tersebut kepada seekor Naga yang bernama Nagawiru yang berada di Gunung Padang. Naga tersebut bukanlah Naga sembarangan. Namun, jelmaan seorang Dewa dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami satu butir Telur Ayam tersebut. Suatu saat nanti. Telur tersebut akan menetaskan seekor Ayam Jantan dan menjadi binatang kesayangan dari anak bayi yang di temukan sepasang suami istri tersebut.
Waktu tanpa terasa terus berjalan. Bayi Laki-laki, sekarang tumbuh menjadi remaja yang sangat tampan, cerdas, gagah dan pemberani. Anak tersebut di beri nama Ciung Wanara. Aki dan Nini memberikan nama Ciung Wanara karena mereka melihat seekor Monyet yang aneh, Monyet tersebut bernama Wanara. Kemudian mereka pun melihat seekor Burung yang bernama Ciung. Akhirnya, keduanya sepakat. Nama dari ke dua binatang tersebut. Akhirnya, di jadikan sebagai nama anaknya.
Ciung Wanara tumbuh menjadi seorang Pemuda yang sangat tampan. Suatu hari, ia ingin sekali pergi ke Galuh untuk mengembara. Awalnya, Aki dan Nini tidak menginjinkannya. Namun, karena anaknya terus memaksa. Sebelum ia berangkat ke Kerajaan Galuh, ia bertanya siapa Ayah dan Ibu kandungnya. Awalnya, Aki dan nini tidak mau menceritakan kebenarannya. Namun, Ciung Wanara terus bertanya. Aki menjelaskan bahwa Ayah kandungnya adalah seorang Raja dari Kerajaan Galuh. Dan Ibunya di asingkan di dalam hutan belantara. Mendengar penjelsan tersebut. Akhirnya, Ciung Wanara berangkat ke Kerajaan Galuh dengan membawa Ayam Jantan kesayangannya. Setibanya di kerajaan Galuh. Ia bertemu dengan dua orang Patih yang bernama Purawesi dan Puragading. Kedua Patih tersebut tertarik dengan Ciung Wanara, karena ia membawa seekor Ayam Jantan. Kedua Patih tersebut menghampiri dan mengajaknya untuk adu Ayam. Ciung Wanara menerima tantangan dari kedua Patih tersebut. Pertandingan sambung Ayam di lakukan di tengah alun-alun Kota Galuh. Akhirnya, nasib baik selalu berpihak kepada Ciung Wanara. Ayam Jantang kesayangannya menang dalam pertandingan.

Kemenangan Ciung Wanara tersebut langsung tersebar ke Kerajaan. Kemenangan itu terdengar oleh Sag Raja, bahwa ada seorang Pemuda Tampan memiliki seekor Ayam Jantan yang sangat tangguh. Akhirnya, takdir mempertemukan Ayah dan anak yang sudah di pisahkan oleh perbuatan Dewi Pangrenyep.
Ciung Wanara datang ke Istana untuk bertemu dengan Raja. Ia pun membuat kekacauan di depan Istana. Akhirnya, Baginda segera memerintahkan para pengawal agar Ciung Wanara menghadap. Setelah berhadapan dengan Sang Raja, Ciung Wanara pun menyembah.
"Hai Anak Muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?"
"Nama hamba Ciung Wanara, putra dari Aki dan Nini Balangantrang dari desa Geger Sunten," jawab Ciung Wanara dengan lantang.
"Apa maksud kedatanganmu kemari?"
"Begini, Tuanku. Hamba mempunyai seekor Ayams yang aneh. Induknya mengandung selama setahun. Sarangnya sebuah kandaga. Lebih aneh lagi, sebelum menetas, telur ini pernah hanyut di sungai," kata Ciung Wanara.

Raja teringat pada Naganingrum yang mengandung selama setahun. Sedangkan Dewi Pangrenyep sudah mengira, bahwa yang sekarang berada di hadapannya adalah putra dari Naganingrum. Kedatangannya hendak membalas dendam.
"Kau berniat untuk menyambung Ayam dengan milikku? Apa taruhannya?" tanya Raja Galuh.
"Jika ayam hamba yang kalah, hamba bersedia menyerahkan nyawa hamba. Tapi sebaliknya, jika ayam baginda yang kalah, maka hamba mohon diberi separuh kerajaan Galih Pakuan," kata Ciung Wanara.

Karena raja Galih Pakuan merasa yakin, bahwa ayam jagonya akan menang, taruhan Ciung Wanara disetujui. Baginda segera membawa ayamnya ke halaman dan diikuti oleh Ciung Wanara.
Pertandingan sabung Ayam pun berlangsung dengan seru. Awalnya, Ayam jantan milik Ciung Wanaralah yang menunjukkan kekalahan. Namun, tiba-tiba Ayam tersebut kembali segar dan kuat kembali. Akhirnya, dengan mudah Ayam milik sang Raja kalah terdesak. Ciung Wanara kembali memenangkan pertandingan sabung Ayam. Sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui, Ciung Wanara mendapat negara sebelah Barat. Sedangkan sebelah Timur oleh baginda diserahkan kepada Hariangbanga. Masing-masing bergelar Prabu.

Akhirnya, semua rahasia tentang Ciung Wanara terungkap dan segala kejahatan yang dilakukan Dewi Pangrenyep terbongkar dengan sendirinya. Ki Lengser pun menceritakan bahwa Ibu kandungnya masih hidup dan di asingkan di sebuah hutan. Ciung Wanara sangat bahagia dan segera menjemput ibunya, ia pun menjemput kedua angkatnya.
Sementara itu Dewi Pangrenyep mulai hatinya ketar ketir setelah tahu kalau Ciung Wanara adalah anak bayi yang dibuangnya dulu. Hingga akhirnya kegelisahan dan ke khawatirannya itu pun segera terjawab dan terwujud. Prabu Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya sendiri, maka segera membentuk pasukan khusus untuk menangkap Dewi Pangrenyep. Tanpa menemui kesulitan yang berarti Dewi pangrenyep segera tertangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana untuk membayar segala kejahatan dan kekejiannya.

Sementara Raden Hariangbanga sangat kaget ketika mengetahui kalau ibundanya tercinta telah ditangkap oleh tentara prabu Ciung Wanara dan dijebloskan ke dalam penjara. Pertarungan antara dua orang adik kakak beda ibu itupun tak dapat terelakan lagi. Pertarungan sengit terus terjadi dan raden Hariangbanga harus berlaku satria dia kalah terdesak oleh adiknya Ciung Wanara.
Setelah pertarungan itu kerajaan Galuh benar benar terbagi menjadi dua. Kerajaan Galuh terbagi dua karena dalam pertarungan tubuh Hariangbanga di lempar oleh Ciung Wanara hingga menyebrangi sungai Cipamali. Dari sejak itulah Kerajaan Galuh terbagi dua.
Akhirnya, Ciung Wanara, Ibunya, dan orang tua angkatnya hidup berbahagia di dalam istananya yang kemudian bernama Pakuan Pajajaran.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Sunda : Dongeng Ciung Wanara adalah perbuatan buruk akan mendapatkan balasan dari keburukannya dimasa yang akan datang. Selalu berlaku baik akan akan mendapatkan kebaikan.


1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

BANDUNG BONDOWOSO

Rara Jonggrang (ejaan alternatif: Loro Jonggrang; Lara Jonggrang) adalah sebuah legenda atau cerita rakyat populer yang berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta di Indonesia. Cerita ini mengisahkan cinta seorang pangeran kepada seorang putri yang berakhir dengan dikutuknya sang putri akibat tipu muslihat yang dilakukannya. Dongeng ini juga menjelaskan asal mula yang ajaib dari Candi Sewu, Candi Prambanan, Keraton Ratu Baka, dan arca Dewi Durga yang ditemukan di dalam candi Prambanan. Rara Jonggrang artinya adalah "dara (gadis) langsing".

Kisah
Konon di Jawa Tengah terdapat dua kerajaan yang bertetangga, Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka. Pengging adalah kerajaan yang subur dan makmur, dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana bernama Prabu Damar Maya. Prabu Damar Maya memiliki putra bernama Raden Bandung Bondowoso (Bandawasa) yang gagah perkasa dan sakti. Sedangkan kerajaan Baka dipimpin oleh raja danawa (raksasa) pemakan manusia bernama Prabu Baka. Prabu Baka dibantu oleh seorang Patih bernama Patih Gupala yang juga adalah raksasa. Meskipun berasal dari bangsa raksasa, Prabu Baka memiliki putri cantik bernama Rara Jonggrang.
Untuk memperluas kerajaannya dan merebut kerajaan Pengging, Prabu Baka bersama Patih Gupala melatih balatentara dan menarik pajak dari rakyat untuk membiayai perang. Setelah persiapan matang, Prabu Baka beserta tentaranya menyerbu kerajaan Pengging. Pertempuran meletus di kerajaan Pengging. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Akibatnya rakyat Pengging menderita kelaparan, kehilangan harta benda, dan banyak yang tewas. Demi mengalahkan para penyerang, Prabu Damar Moyo mengirimkan putranya, Pangeran Bandung Bondowoso untuk bertempur melawan Prabu Baka. Pertempuran antara keduanya begitu hebat, dan berkat kesaktiannya Bandung Bondowoso berhasil mengalahkan dan membunuh Prabu Baka. Ketika Patih Gupala mendengar kabar kematian junjungannya, ia segera melarikan diri mundur kembali ke kerajaan Baka.

Pangeran Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupala hingga kembali ke kerajaan Baka. Ketika Patih Gupala tiba di Keraton Baka, ia segera melaporkan kabar kematian Prabu Baka kepada Putri Rara Jongrang. Mendengar kabar duka ini sang putri bersedih dan meratapi kematian ayahandanya. Setelah kerajaan Baka jatuh ke tangan balatentara Pengging, Pangeran Bandung Bondowoso menyerbu masuk ke dalam Keraton (istana) Baka. Ketika pertama kali melihat Putri Rara Jonggrang, seketika Bandung Bondowoso terpikat oleh kecantikan sang putri. Ia jatuh cinta dan melamar Rara Jonggrang. Akan tetapi sang putri menolak lamaran itu, karena ia tidak mau menikahi pembunuh ayahandanya dan penjajah negaranya. Bandung Bondowoso terus membujuk dan memaksa agar sang putri bersedia dipersunting. Akhirnya Rara Jonggrang bersedia dinikahi oleh Bandung Bondowoso, tetapi sebelumnya ia mengajukan dua syarat yang mustahil untuk dikabulkan. Syarat pertama adalah ia meminta dibuatkan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda, syarat kedua adalah sang putri minta Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Meskipun syarat-syarat itu teramat berat dan mustahil untuk dipenuhi, Bandung Bondowoso menyanggupinya.

Sang pangeran berhasil menyelesaikan sumur Jalatunda dengan kesaktiannya. Setelah sumur selesai, Rara Jonggrang berusaha memperdaya sang pangeran dengan membujuknya untuk turun ke dalam sumur dan memeriksanya. Setelang Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur, sang putri memerintahkan Patih Gupala untuk menutup dan menimbun sumur dengan batu, mengubur Bondowoso hidup-hidup. Akan tetapi Bandung Bondowoso berhasil keluar dengan mendobrak timbunan batu itu karena sakti. Bondowoso sempat marah akibat tipu daya sang putri, akan tetapi sang putri berhasil memadamkan kemarahan sang pangeran karena kecantikan dan rayuannya.
Untuk mewujudkan syarat kedua, sang pangeran bersemadi dan memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Dengan bantuan makhluk halus ini sang pangeran berhasil menyelesaikan 999 candi. Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia kemudian memerintahkan agar membakar jerami di sisi timur. 

Mengira bahwa pagi telah tiba dan sebentar lagi matahari akan terbit, para makhluk halus lari ketakutan bersembunyi masuk kembali ke dalam bumi. Akibatnya hanya 999 candi yang berhasil dibangun dan Bandung Bondowoso telah gagal memenuhi syarat yang diajukan Rara Jonggrang. Ketika mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Rara Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Rara Jonggrang menjadi batu. Sang putri berubah menjadi arca yang terindah untuk menggenapi candi terakhir. Menurut kisah ini situs Keraton Ratu Baka di dekat Prambanan adalah istana Prabu Baka, sedangkan 999 candi yang tidak rampung kini dikenal sebagai Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama di Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan tetap dikenang sebagai Lara Jonggrang yang berarti "gadis yang ramping".

Penafsiran 
Legenda ini adalah dongeng atau Sejarah cerita rakyat yang menjelaskan asal mula yang ajaib dari situs-situs bersejarah di Jawa, yaitu Keraton Ratu Baka, Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama Prambanan. Meskipun candi-candi ini berasal dari abad ke-9, akan tetapi diduga dongeng ini disusun pada zaman yang kemudian yaitu zaman Kesultanan Mataram. 
Tafsiran lainnya menyebutkan bahwa legenda ini mungkin merupakan ingatan kolektif samar-samar masyarakat setempat mengenai peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di kawasan ini. Yaitu peristiwa perebutan kekuasaan antara wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya untuk berkuasa di Jawa Tengah. Prabu Baka mungkin dimaksudkan sebagai Raja Samaratungga dari wangsa Sailendra, Rakai Pikatan sebagai Bandung Bondowoso, dan Pramodhawardhani, putri Samaratungga sekaligus istri Rakai Pikatan, sebagai Rara Jonggrang. Peristiwa bersejarah sebenarnya adalah pertempuran antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani yang dibantu suaminya Rakai Pikatan yang akhirnya dimenangi Rakai Pikatan dan mengakhiri dominasi wangsa Sailendra di Jawa Tengah. 

BANDUNG BONDOWOSO DENGAN AJIAN BOLO SEWU 
UNTUK MEMERINTAH JIN 
Orang yang memiliki ajian ini dengan sempurna bisa memimpin bangsa jin. Sehingga bisa mengerahkan Bala tentara Jin untuk keperluannya.... 
Dalam kisah Jawa kuno terdapat cerita tentang seorang ksatria sakti bernama Bandung Bondowoso yang jatuh hati pada seorang puteri. Karena puteri tersebut tidak mencintai Bandung Bondowoso, sedang untuk menolak secara terang-terangan sang puteri merasa takut karena Bandung Bondowoso ini terkenal sangat sakti, maka untuk mengelabuhi si Bandung Bondowoso sang puteri membuat persayaratan. 
Persyaratan tersebut adalah lamaran Bandung Bondowoso akan diterima apabila ia sanggup membuat seribu candi dalam waktu satu malam. Candi tersebut harus sudah selesai sebelum ada ayam jantan berkokok atau sebelum fajar menyingsing. Dengan kehebatan yang dimilikinya, Bandung Bondowoso hampir menyelesaikan pekerjaannya karena ia dibantu oleh pasukan bangsa jin yang sangat patuh kepadanya. 
Sang putri semakin ketakutan. Ia tahu secara persis, walau hari masih malam Bandung Bondowoso sudah menyelesaikan 999 candi. Sang puteri begitu melihat bahwa Bandung Bondowoso hampir menyelesaikan pekerjaannya sangat panik, sehingga ia menyuruh para dayangnya untuk menabuh lesung (tempat menumbuk padi) guna membangunkan ayam, supaya berkokok. Dengan harapan si Bandung Bondowoso merasa bahwa hari sudah pagi. Sehingga gagal dalam membuatkan candi. 
Mengetahui hal tersebut adalah ulah sang puteri , Bandung Bondowoso menjadi marah. Ia merasa telah ditipu, sehingga ia mengucapkan kutukan, bahwa untuk melengkapi jumlah candi genap seribu, puterilah yang d sabda hingga berubah menjadi candi. Lalu jumlah candi menjadi seribu dan oleh orang jawa disebut candi Sewu. Begitulah cerita tentang kehebatan Bandung Bondowoso yang bisa mengerahkan bala tentara jin untuk membuat candi. Kisahnya terkenal sebagai legenda Nyi Lara Jonggrang. 
Selain dapat menaklukkan bangsa jin, orang yang memiliki ajian ini, akan mampu menangkis serangan lawan yang menggunakan senjata. Senjata tersebut akan terpental dengan sendirinya, tanpa kita bergerak untuk menangkisnya. 
Dengan keyakinan penuh kita akan mampu menguasai ilmu ini. Tentu saja asalkan kita dapat melaksanakan seluruh petunjuk serta laku.

1        2       3       4       5       6       7       8       9       10......

MALIN KUNDANG

Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diselamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil menggenggam tangan ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatlah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.
“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.
Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.
Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.
Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian.

Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.
Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.
Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.